Kamis, 03 November 2011

Polemik antara Soekarno dengan M. Natsir Tentang Hubungan Agama dengan Negara


I. Hal Yang Dipermasalahkan
           Perdebatan tentang hubungan antara agama dan negara merupakan pemasalahan lama yang dipertentangkan dikalangan para pemikir, yang hingga saat ini belum dapat terselesaikan, baik dikalangan pemikir di Eropa Barat maupun di Timur. Pertentangan ini bermuara pada kenyataan sejarah pada masa abad pertengahan yaitu pada kurun waktu abad ke 7 Masehi hingga abad ke 15 Masehi di Eropa Barat, yaitu masa kekuasaan para pendeta gereja menguasai seluruh aktivitas kehidupan masyarakat, zaman ini disebut dengan zaman Patristik Romawi yaitu zaman kekuasaan para bapak-bapak gereja.
          Pada masa patristik ditandai dengan adanya dominasi greja di Roma, dimana kekuasaan agama dan kekuasaan negara berada di tangan Paus. Gereja Roma pada waktu itu tidak hanya berfungsi sebagai institusi agama, tetapi juga berfungsi sebagai institusi negara. Keadaan ini mengakibatkan terjadi banyak penyelewengan agama demi kepentingan politik, penyelewengan tersebut seperti penjualan surat pengampunan dosa, penarikan pajak yang bersifat memaksa, menekan ilmuwan untuk tidak melakukan penelitian yang bertentangan dengan doktrin gereja.
          Dengan adanya peran gereja yang terlalu mendominasi, mengakibatkan sering terjadi kepentingan politik dilegitimasi oleh doktrin agama, akibatnya terjadi banyak penindasan yang dilakukan oleh para penguasa politik yang berselimut dibalik agama.
          Demikian permasalah yang terjadi dalam kenyataan sejarah di Eropa pada waktu itu. Kenyataan tersebut kemudian melahirkan kesadaran para ilmuwan Barat untuk melakukan protes sebagai koreksi terhadap sistem kekuasaan yang berlaku di Barat. Protes tersebuit disampaikan dalam berbagai cara, namun yang memilki pengaruh adalah bentuk protes yang disampaikan dalam publikasi ilmiah, seperti yang dilakukan oleh Martin Luther, Zwingli, dan kawan-kawannya.
         Luther sebgai seorang khatolik yang taat, menyadari betul terhadap berbagai penyelewengan ynag dilakukan oleh para pendeta geareja dengan memalingkan agama untuk kepentingan pribadi mereka, sehingga Luther melakukan protes keras terhadap kekuasaan gereja dengan menuntut adanya kebebasan, kepemilikian, keadilan, dan kebersamaan. Dari tuntutan inilah kemudian melahirkan renaisance dan reformasi di Barat.
         Di Indonesia persoalan hubungan antara agama dan negara menjadi polemik yang tetap menarik, polemik tersebut sebenarnya tidak didasarkan pada kenyataan empirik atau tidak punya dasar sosiologis, tetapi polemik tersebut lebih hanya diakibatkan oleh adanya kekwatiran dari kalangan intelektual dan para tokoh pemikir terhadap adanya penyelewengan agama untuk kepentingan politik.
         Soekarno dan Natsir merupakan rerefresantasi dari kelompok nasionalis Islam dan nasionalis tulen, mereka merupakan figur yang memiliki pandangan yang berbeda tentang hubungan antara agama dan negara, namum perbedaan tersebut tidaklah bersifat prinsifal, melainkan karena adanya perbedaan pemahaman terhadap ajaran agama dan kenyataan sosial yang terjadi disekitar mereka.
          Menurut pandangan Soekarno bahwa agama dan negara harus dipisahkan eksistensinya, karena untuk memberikan kebebasan pada masing-masing institusi tidak dapat dihindari bahwa keduanya harus dipisahkan. Pandangan tersebut didasarkan pada bahwa tujuan politik adalah kekuasaan negara, sedangkan tujuan agama adalah kebahagian hidup di dunia dan di akhkirat. Sementara Natsir memiliki pandangan yang berbeda dengan Sukarno, Natsir menganggap bahwa agama dan negara tidak dapat dipisahkan eksistensinya, karena agama sendiri didalamnya memerintahkan untuk hidup bernegara demi mewujudkan kebahagian seluruh umat manusia.
          Berdasarkan uraian di muka, bahwa hubungan antara agama dan negara  merupakan persoalan yang perlu terus kita kaji ulang, dan menjadi sangat menarik untuk ditelaah secara analitis dengan pendekatan historis. Dari hal tersebut yang menjadi persoalan adalah, mengapa terjadi pertentangan pandangan tentang hubungan agama dan Negara antara Soekarno dengan M. Natsir ?
II. Teori dan Fakta Penelitian
    A. Teori Tentang Hubungan Antara Agama  dan Negara
        Pada tahun 1930-1940 terjadi pergeseran sistem pemerintahan di beberapa belahan dunia Islam yang sempat mempengaruhi model perjuangan pemuda dan kaum intelektual Indonesia. Hal ini berawal dari Persia dan Turki Muda. Jika, dalam pergeseran ini, Persia berupaya membangun kekaisaran dengan maksud mengembalikan masa jaya kekaisaran Persia sebelum Islam, dalam hal ini Turki Muda, lewat Kamal Ataturk, berminat mengganti hukum Syariah dengan kode hukum Barat, setelah terlebih dulu melebur sistem Khalifah dengan Republik Turki.[1]
          Kamal Ataturk, yang memiliki nama asli Mustafa Kamal, melakukan perubahan sistem pemerintahan Turki dengan cara yang cukup radikal. Mula-mula pada tanggal 3 Maret 1924, Kemal memberlakukan Undang-Undang yang berisi : menghapus sistem kekhalifahan, menurunkan khalifah, dan mengasingkan bersama seluruh keluarganya, menghapus kementrerian syariah (agama), dan menyatukan sistem pendidikan syariah di bawah menteri pendidikan. Tetapi tindakan radikal Mustafa Kamal ini segera mendapat tantangan di mana-mana. Beberapa pendukung utama Mustafa kamal bahkan mengadakan gerakan bawah tanah untuk menggulingkannya. Berbagai surat kabar yang digerakkan oleh para penentang Mustafa Kamal juga dengan cepat melancarkan kampanye "anti Kamalis".[2]
          Sesungguhnya fenomena revolusi semacam ini tidak layak dijadikan parameter pemikiran revolusi soekarno. Mungkin tentang konsep pemikiran menuju pemisahan agama dengan negara Soekarno juga mengambil dari kasus-kasus lain.[3]
          Gagasan Soekarno tentang pemisahan antara Agama dengan Negara diinspirasikan oleh kasus Turki Muda, dan kasus tersebut mempengaruhi kaum intelektual Indonesia. Soekarno, mencoba merespon secara positip gerakan Turki Muda tersebut. la menampilkan gagasan "Pemisahan Agama dengan Negara". Soekarno mengangkat tulisan berjudul "Apa Sebab Turki Memisahkan Agama dan Negara?"  Bagi Soekarno, pemisahan ajaran Islam dengan sistem pemerintahan di Turki melalui peleburan dari sistem Khalifah menjadi Republik Turki merupakan gagasan brilian.
          Soekarno kemudian mengangkat tulisan: "Apa sebab Turki memisahkan agama dari negara?" Soekarno menulis:
          "Orang mengatakan bahwa Turki sekarang anti Islam, padahal seorang seperti Frances Wodsmal, yang telah menyelidiki sebagian itu berkata: 'Turki modern adalah anti kolot, anti soal-soal lahir dalam hal-hal ibadat, tetapi tidak anti agama, Islam sebagai kepercayaan person tidaklah dihapuskan, sembahyang-sembahyang di masjid tidaklah dihapuskan dan tidak pula diberhentikan, aturan-aturan agama pun tidak dihapuskan'. Orang mengatakan bahwa Turki ini tidak menyokong agama, karena memisahkan agama dari sokongannya negara, padahal Halide Edib Hanoum, sebagai dulu pernah saya setir, adalah berkata bahwa agama itu perlu dimerdekakan dari asuhannya negara, supaya menjadi subur. "Kalau Islam terancam bahaya kehilangan pengaruhnya di atas rakyat Turki, maka itu bukanlah karena tidak diurus oleh pemerintah, tetapi ialah justru karena diurus oleh pemerintah. Umat Islam terikat kaki tangannya dengan rantai kepada politiknya pemerintah. Hal ini adalah satu halangan besar sekali buat kesuburan di Turki. Dan bukan saja di Turki, tetapi di mana-mana saja, dimana pemerintah campur tangan di dalam urusan agama, di situ menjadilah ia satu hilangan besar yang tak dapat disyahkan." [4]

    Bagi Soekarno, campur tangan agama dalam urusan pemerintahan mengakibatkan kelemahan agama di satu sisi dan kemandegan otoritas pemerintahan di sisi lain, Kasus Turki berhasil menarik pandangan Soekarno bahwa hukum-hukum agama (Islam) menjadi sesuatu yang menyeramkan, yang dijadikan kesempatan bagi raja-raja zalim bertangan besi untuk menghukum siapa saja yang menentang pemerintahannya. Sementara langkah-langkah pemerintah yang dapat dipandang bijaksana dan efektif bagi sistem pemerintahan justru sering berbenturan dengan paham-paham agama yang dianut oleh para ulama Turki tersebut.[5] Untuk itu Soekarno berpandangan bahwa pemisahan antara agama (Islam) dengan negara dimaksudkan, agar supaya "Islam menjadi merdeka dan negara pun menjadi merdeka." Dalam arti, terjadi kemandirian agama di satu sisi dan kemandirian negara di sisi yang lain. Agar supaya Islam berjalan sendiri. "Agar supaya Islam subur dan negara pun subur pula."[6]
    Soekarno meragukan kebangkitan sebuah pemerintahan negara, jika masalah-masalah spiritual masih terus menjadi pengikat. Turki Muda, dalam pandangan Soekarno, adalah sebuah bangsa yang sedang bangkit, tetapi ikatan-ikatan spiritual agama Islam, melalui para ulama, telah menghambat bangkitnya negara tersebut.[7]
   Di samping tekanan-tekanan terhadap kemandegan kreatifitas berkreasi di bidang ilmu dan teknologi, ikatan spiritual Islam yang dipahami oleh para ulama Turki juga membawa akibat kemerosotan di bidang ekonomi. Untuk itu Soekarno berkeyakinan bahwa tidak ada gunanya mempunyai suatu negara Islam kalau negara Islam itu dalam praktik kehidupan internasional, maupun kehidupan bangsa itu sendiri selalu menjadi perbincangan orang. Menurut Soekarno keadaan inilah yang menyebabkan Turki disebut "de zieke va Eropa," yaitu seorang sakit di Eropa, yang menjadi cemoohan masyarakat Internasional, khususnya bangsa-bangsa Eropa.[8]
    Atas dasar ini semua, Turki mencoba menawarkan metode baru dalam pemerintahannya. Soekarno tanpa ragu-ragu mengutip pernyataan Kamal Ataturk atas fenomena ini, bahwa "Islam di Turki itu telah menjadi satu agama yang konvensional karena diikatkan kepada satu negara yang konvensional.[9] Satu-satunya metode untuk mengatasinya adalah memisahkan agama dari negara.
    Tampaknya pemikiran Kemal Ataturk tentang pemisahan agama dengan negara cukup kuat mempengaruhi pemikiran Soekarno. Untuk ini Soekarno menjadi seperti sosok politikus yang jauh dari memahami dasar-dasar ajaran Islam. Kekaguman Soekarno terhadap konsep Kamal Ataturk berakibat pada unsur-unsur "taklid" dalam pemikirannya, satu hal yang selama ini terus ditentangnya. Ini tentu saja sangat bertolak-belakang dengan gaya pemikiran Soekarno sebelumnya, yang meskipun kurang didukung dengan sumber-sumber Islam secara langsung telah menampilkan cakrawala yang cukup menggugah.
B. Fakta Penelitian: Polemik Antara Soekarno dan M. Natsir tentang Hubungan Antara Agama dan Negara
    Pemikiran tentang pemisahan antara agama dan Negara menurut pandangan Soekarno hanya meniru secara gamblang dari peristiwa Turki, dengan tanpa mempertimbangkan lebih jauh bahwa situasi Turki dengan negeri-negeri Islam lain di dunia masing-masing memiliki persoalan yang berbeda. la, misalnya, mengatakan bahwa Turki telah menempuh langkah yang hebat dan sangat berarti dalam sejarah dunia. Turki punya alasan-alasan sepanjang pengetahuan bahwa baik di dalam urusan ekonomi, maupun di dalam urusan politik, sistem pemerintahan Turki lama tidak bisa membawa Turki dalam kehidupan dunia yang semakin moderen.
   Amat disayangkan bahwa Soekarno kurang cermat memahami pokok persoalan dalam kasus Turki. Sesungguhnya permasalahan mendasar Turki terletak pada kelemahan umat Islam dan para ulama negara itu untuk memahami ajaran Islam secara universal dan menyeluruh. Kenyataan ini terlihat dengan membudayanya penyalahgunaan ajaran-ajaran agama sebagai alasan untuk meninggalkan tugas-tugas pemerintahan. Kewajiban-kewajiban agama, seperti shalat dan puasa dijadikan alasan yang strategis untuk meninggalkan tugas-tugas negara, sehingga tugas-tugas kenegaraan terabaikan. Dangkalnya tingkat pemahaman keagamaan ini mengakibatkan kemandegan intelektual. Penemuan-penemuan ilmu dan teknologi, seperti radio dan barang-barang elektronik, dipandang sebagai barang yang haram. Sementara hukum agama diperlakukan dengan cara yang jauh dari maksud yang sebenarnya.[10]
   Sesunguhnya cara untuk mengendalikan kekacauan beragam ini adalah dengan menggali ajaran Islam secara cermat. Konsep ajaran Islam yang tidak bisa dilepaskan dari sistem politik, kenegaraan, ekonomi, ilmu dan teknologi mesti ditawarkan secara jelas. Yang menjadi tanda tanya besar adalah tentang konsep-konsep pemikiran Soekarno. Antusias Soekarno terhadap pemikiran Islam yang nyaris menempatkannya sebagai "pembaru" ternyata tidak mampu memberikan jalan keluar secara tepat terhadap kasus Turki. Padahal pokok utama kasus Turki adalah perlunya membangun kembali pemikiran-pemikiran agama dalam Islam.
          Pemikiran Mohammad Natsir tentang "hubungan antara Agama dan Negara," merupakan reaksi terhadap pemikiran Soekarno tentang "Pemisahan Agama dengan Negara" sebagaimana dikemukakan di atas. Natsir menulis secara berturut-turut di majalah Panji Islam, dengan judul Persatuan Agama dengan Negara. Tulisan tersebut terdiri dari beberapa anak judul, di antaranya yaitu: Persekot, Arti Agama dalam Negara, Mungkinkah Al-Quran Mengatur Negara?, Islam Demokrasi, Islam in Schultzchaft, Kemal Pasha dan Vriy Metselarij, Kemalisten di Indonesia, dan Berhakim pada Sejarah. Tulisan-tulisan itu, satu sama lain, saling berkaitan, dan dihimpun oleh D.P. Alimin dalam buku Capita Selekta.[11]
Tulisan pertama, Persekot, merupakan dasar argumentasi Natsir dan mengilhami tulisan-tulisan berikutnya, yaitu komentar singkat atas tuntutan Soekarno terhadap telaah pembaharuan Kemal Pasya yang menekankan, bahwa untuk menilai pemikiran dalam peristiwa Turki, harus dilakukan telaah secara serius atas sekitar 40 literatur yang berkaitan dengan masalah-masalah agama dengan negara tersebut. Dalam hal ini Natsir menolak secara tegas tantangan Soekarno tersebut. Bagi Natsir, ukuran sebuah analisis bukan ditentukan semata-mata oleh jumlah bacaan, tetapi berdasarkan pada kualitas pemikiran dan kemampuan menyerap hasil bacaannya.[12]
Dalam "Arti Agama dalam Negara," Natsir mendahului gagasannya dengan mengetengahkan pengertian "agama" dan "negara." Dengan merujuk ayat "Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah,"[13] Natsir menekankan bahwa tujuan hidup manusia di dunia ini adalah mencapai hamba Allah dalam arti sepenuhnya, yaitu kejayaan di dunia dan kemenangan di akhirat. Dan dengan pengertian ini, kehidupan di dunia dan di akhirat tidak dapat dipisahkan.[14]
Natsir menekankan bahwa pengertian agama dalam Islam bukan sebatas pada ibadat-ibadat ritual, tetapi mencakup semua aspek sosial dan seluruh kehidupan masyarakat, berdasarkan kaidah hukum dan aturan yang secara rinci terhimpun dalam Al-Qur’an dan Sunnah Nabi.[15]
   Ajaran Islam, mencakup seluruh aspek kehidupan. seperti: zakat, perkawinan dan perceraian, hukuman terhadap perzinaan, larangan berjudi, larangan minuman keras, dan berbagai penyakit masyarakat lainnya. Demikian juga Islam melarang kemusyrikan, khurafat, takhayul, dan berbagai kepercayaan yang dapat meruntuhkan kekuatan ruhani umat Islam. Upaya   mencegah permasalahan ini tidak dapat tercapai tanpa ada kekuatan kekuasaan, yaitu kekuasaan pemerintahan. Al-Qur’an dan Sunnah Nabi sebagai landasan berlakunya aturan-aturan hukum dalam agama Islam, tidak dapat menjalankannya sendiri,   karena "AI-Qur’an dan Sunnah Nabi tidak bertentangan dan tidak berkaki,” maka perlu cara lain untuk melaksanakan dan menjaga agar peraturan-peraturan itu dapat diterapkan dengan semestinya. Dengan mengutip ucapan Rasulullah Saw., bahwa "Sesungguhnya Allah memegang dengan kekuasaan penguasa, yang tidak dapat dipelihara dan dipegang oleh AI-Quran itu (HR Ibnu Katsir)" Natsir kemudian menulis:
"Seperti buku Undang-undang yang lain-lainnya juga, Al-Qur’an pun tidak dapat berbuat apa pun dengan sendirinya, dan peraturan-peraturannya tidak akan berjalan dengan sendirinya, dengan semata-mata ia letakkan di atas lemari atau sekalipun dijunjung di atas kepala.... Untuk menjaga supaya aturan-aturan dan patokan-patokan itu dapat berlaku dan berjalan sebagaimana mestinya, perlu dan tidak boleh tidak, harus ada suatu kekuatan dalam pergaulan hidup, berupa kekuasaan negara.”[16]

     Dari sini akan terikat suatu pengertian yang jelas bagi posisi "agama" maupun "negara". Oleh karena itu, lanjut Natsir, "Bagi kita kaum Muslimin negara bukanlah badan yang berdiri sendiri yang menjadi tujuan. Dan dengan 'Persatuan Agama dan Negara', kita maksudkan, bukanlah bahwa agama itu sekadar dimasuk-masukkan saja di sana-sini kepada negara itu". Tetapi bagi Natsir, "Persaruan agama dengan negara" mengikat suatu pengertian bahwa negara merupakan alat dan sarana, sedangkan tujuannya adalah mencapai berlakunya undang-undang Ilahi. Dengan demikian agama adalah tujuan, sementara negara merupakan alat untuk mencapai tujuan tersebut. Dalam arti, bahwa "negara pada dasarnya merupakan alat bagi masyarakat Islam untuk melaksanakan aturan-aturan agama." Pengertian ini, kelak juga menjadi landasan bagi pemikir modernis "generasi baru" dalam menentukan kriteria-kriteria pemerintahan Islam. Dalam hal ini Natsir menguraikan:
     "Urusan kenegaraan pada pokoknya dan pada dasarnya adalah satu bagian yang tak dapat dipisahkan, satu intergreereng deel dari Islam. Yang menjadi tujuan adalah: kesempurnaan berlakunya undang-undang Ilahi, baik yang berkenaan dengan perikehidupan manusia sendiri (sebagai individu), ataupun sebagai anggota masyarakat Baik yang berkenaan dengan kehidupan dunia yang fana ini, ataupun yang berhubungan dengan kehidupan kelak dialam baka.[17]

    Oleh karena itu, pembaruan Kemal Ataturk memisahkan agama dari negara dalam rangka memberi kesuburan terhadap tumbuhnya agama, sangat bertolak belakang dengan pemikiran Natsir. Bagi Natsir cara tersebut bukan saja tidak melindungi, tetapi juga "melempar dan menginjak-injak aturan agama". Lebih jauh Natsir melihat, langkah yang dipakai dalam proses pembaruan di negara Turki sangat lemah dan bertentangan dengan semangat kedinamisan ajaran Islam.[18]
Hal itu setidaknya dapat dilihat dalam tiga hal. Pertama, sistem pemerintahan melalui penggabungan negara dengan agama yang sebelumnya berlaku di Turki secara kebetulan bersamaan dengan masa suram negeri itu. Kedua, studi pemikiran para pembaru Turki cenderung mengambil pemikiran dan karya-karya orientalis yang memberikan gambaran pemerintahan Islam dalam potret raja dan tirani yang dikelilingi dayang-dayang. Ketiga, fenomena masya­rakat Islam Turki yang diwarnai kejumudan, khurafat dan takhayul dijadikan gambaran untuk melihat Islam secara keseluruhan.[19]
Fenomena inilah yang menjadi gambaran kehidupan pemerintahan Turki sebelumnya. pemerintahan semacam ini, dalam pandangan Natsir, tidak dapat diselamatkan dengan cara meniadakan peranan agama di dalamnya. Bahkan peranan agama (Islam) amat diperlukan untuk mengatur kembali sistem pemerintahan dan menjadi konsep moral kehidupan rakyat Menurut Natsir, suatu masyarakat yang sudah jauh dari ajaran-ajaran agama "apakah lagi dari agama itu, yang akan dipisahkan dari padanya?"[20]
Untuk itu, fenomena itu sesungguhnya hanya dapat diatasi dengan memperhatikan beberapa hal. Pertama, menerapkan prinsip-prinsip ajaran agama dalam arti yang sebenarnya, yaitu ajaran agama yang di dalamnya memuat hubungan sosial antara sesama manusia dan hubungan batin dengan Ilahi dalam bentuk-bentuk peribadatan. Di dalamnya juga memuat etika, moral dan budi pekerti rakyat, serta ditanamkan pula falsafah kehidupan yang suci dan semangat perjuangan mencapai keselamatan dunia dan akhirat. Dengan kata lain, menyatukan sistem politik negara dengan kaidah-kaidah ajaran agama.
Kedua, berusaha memisahkan "pemahaman agama" yang salah itu, yaitu pemahaman agama yang dipenuhi bentuk-bentuk kejahatan dan kemaksiatan serta praktik-praktik khurafat dan takhayul, dari sistem pemerintahan negara.
Oleh karena itu, bagi Natsir, prinsip pembaruan Kamal Ataturk di Turki adalah salah total. Kesalahan ini ditambah lagi dengan mencoba menggantikan hukum syariah (Islam) dengan kode hukum Swiss dan Italia. Meskipun kenyataan selanjutnya menunjukkan bahwa pembaruan ini telah mengarahkan Turki kepada kondisi pemerintahan yang gemilang, namun prinsip pemerintahan ini menjadi bertolak-belakang dengan prinsip pemerintahan Islam, dan dengan demikian menjadi bertolak belakang dengan kondisi Turki yang memang telah menganut prinsip-prinsip Islam dalam sejarah perkembangan negeri ini.[21]
Natsir tidak terjebak oleh aturan pemerintahan secara konseptual. Realitas aturan dan kode hukum negara-negara Barat juga tidak luput dari analisisnya. Natsir bahkan menjadikan fenomena negara-negara ini sebagai tolak ukur disiplin formal dan idealitas bangunan pemerintahan Islam. Dengan tetap mengacu pada doktrin Islam, Natsir memberikan dasar-dasarnya:
"Memang kalau kita buka Al-Qur’an, kita tidak akan bertemu di dalamnya petunjuk-petunjuk untuk mencanangkan Anggaran Belanja Negara, tidak ada di dalamnya peraturan valuta dan aturan devisa dan lain-lain yang semacam itu. Tidak pula akan berjumpa di dalamnya cara-cara mengatur lalulintas menurut Islam. Tak ada peraturan evaknasi dan penjagaan menurut sunnah serta 1001 macam lagi hal-hal yang semacam itu, yang menjadikan suatu negara modern menjadi sulit rumit, dan gecampliceerd itu. Tidak! Ini semua sudah tentu tidak ada, dan memang tidak perlu diatur oleh wahyu Ilahi yang bersifat kekal. Sebab semua ini adalah hal-hal yang berkenaan dengan keduniaan, yang selalu bertukar dan beredar menurut zaman, tempat dan keadaan. Yang diatur oleh Islam adalah dasar dan pokok-pokok mengatur masyarakat manusia, yang tidak berubah-ubah kepentingan dan keperluannya selama manusia masih bersifat manusia, baik ia manusia zaman unta ataupun manusia zaman kapal udara, ataupun manusia zaman kapal stratosfeer, dan lain-lain."[22]

   Bagi Natsir, dalam Islam tidak ada kepala agama sebagaimana kedudukan Paus atau Patrich. Sepanjang sejarah Islam, kepala agama hanya terjadi satu kali dan untuk satu orang, yaitu masa pemerintahan Rasulullah Saw. Rasulullah sebagai kepala agama ini pada saatnya meninggalkan satu sistem Islam yang harus dijalankan oleh segenap kaum Muslim dan dipelihara oleh kepala-kepala "keduniaan". Meskipun Natsir tidak menunjukkan secara jelas satu keyakinan bahwa selain pemimpin agama, Muhammad juga seorang kepala negara. Untuk itu, bagi Natsir, pemimpin-pemimpin seperti Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali adalah pemimpin-pemimpin keduniaan, yang menjalankan aturan pemerintahan berdasarkan aturan yang pernah dijalankan oleh Muhammad Saw. sebagai kepala agama.[23]
III. Tinjauan atau Ulasan Penelitian
          Polemik antara Soekarno dengan Mohammad Natsir tentang hubungan agama dengan negara itu, pada saatnya, menjadi cermin bagi kedua tokoh ini dalam menggagas Dasar Negara yang tepat bagi Indonesia. Gagasan kedua tokoh tersebut juga kelak menjadi simbol dan mendasari lahirnya kelompok para elite Indonesia dari aspek sikap politik maupun dalam aspek ideologi, dengan perbedaan dua kelompok besar, yang dikenal dengan Nasionalis Sekular dan Nasionalis Islami (religius).
Pemikiran dan gagasan mana yang akan mampu memberi eksistensi bagi dasar negara Rl, bisa dilihat pada pembahasan-pembahaan di belakang nanti.
             Perbedaan pandangan antara Soekarno dan M. Natsir tentang hubungan antara agama dan negara merupakan hal yang menarik untuk dikaji secara analitis. Hal ini mengingat bahwa polemik tersebut memiliki latar belakar sosiohistoris dan sosiopolitik.
              Soekarno dalam menggagaskan tentang pemisahan antara agama dan negara tidak hanya mengakomodasi pemikiran Kemal Attaturk dengan melihat sejarah perkembangan politik Turki, tetapi dalam pemikirannya memiliki kepentingan politik tersendiri untuk perjuangan politiknya.
              Soekarno dalam posisinya adalah sebagai seorang intelektual yang briliyan, Soekarno juga adalah sebagai agitator ulung yang mampu melakukan penggalangan pada tingkat akar rumput untuk menentang kekuatan Jepang pada waktu itu. Untuk kepentingannya melakukan penggalangan terhadap semua kelompok kekuatan sosial politik. Soekarno menggagaskan tentang agama yang harus dipisahkan dari pengaruh politik, dan begitu sebalikya politik tidak boleh dicampur baurkan dengan agama. Pemikiran tersebut memang beralasan, karena jika agama disatukan dengan negara dikhawatirkan terjadi penyalahgunaan agama untuk kepentingan politik. Dalam kaitan ini Soekarno khawatir akan melahirkan kekuasaan politik yang despotik, tirani, dan otoriter dengan cara melegitimasi kepentingan politik oleh agama.
              Pada tataran konseptual Soekarno bersikap keras untuk memisahkan agama dengan negara, dengan argumen-argumen yang segar dan dapat dipahami. Hal ini diilhami oleh kondisi sosiohistoris negara-negara yang menyatukan agama dengan negara banyak melakukan penyimpangan yaitu menjual agama untuk kepentingan negara, dimana rakyat ditekan oleh pera penguasa politik dengan mengatasnamakan agama. Hal ini tidak terjadi di negara Turki, tetapi juga terjadi di negara-negara Eropa pada masa kekuasaan Paulus di Gereja Roma Ortodok.
              Soekarno sebagai refresentasi dari kelompok nasionalisme tulen menginginkan untuk mengakomodasi semua golongan dalam upaya mencari dukungan politiknya, karena kemenangan politik di saat negara sedang mengalami berbagai konflik lebih dapat diterima oleh semua kalangan adalah kelompok nasionalis.
          Natsir sebagai seorang nasionalis Islam merasa bertanggung jawab terhadap keberislamanya, gagasan Soekarno tentang hubungan antara agama dan negara merupakan persoalan yang perlu direspon, tidak hanya melalui pendekatan ajaran agama, tetapi melalui pendekatan sosiohistoris. Hal ini Natsir merasa khawatir jika negara dilepaskan dari dimensi agama, kekuasaan negara akan menjadi seswenang-wenang, yaitu aktivitas politik dalam menyelanggarakan negara tidak mempertimbangkan nilai-nilai etis, akibatnya negara menjadi korup dan yang dirugikan adalah rakyat.
              Kepentingan Natsir merespon gagasan Soekarno tentang hubungan antara agama dan negara, selain menginginkan adanya unsur etika dalam berpolitik. Natsir melihat bahwa Agama (Islam) merupakan alat yang dapat mempersatukan berbagai kelompok yang ada dalam masyarakat, hal ini dilhami oleh bahwa dalam sejarah pergerakan politik di Indonesia, Islam sebagai kekuatan sosial politik mampu menggalang kekuatan untuk menghadapi Barat, sebagaimana yang telah dilakukan oleh Sarikat Islam (SI) dibawah pimpinan Tjokroaminot. SI berhasil menggalang persatuan dan kesatuan dalam menghadapi kekuatan Belanda dan merupakan cikal bakal lahirnya Sumpah Pemuda pada tahun 1928. Keadaan inilah yang membuat Natsir bersikeras untuk menggagas tentang hubungan antara agama dan negara, hubungan keduanya merupakan hubungan yang simbiosis mutualism yaitu hubungan yang tidak dapat dipisahkan dimana yang satu dengan yang lain saling melengkapi. Untuk menyebarkan agama butuh negara atau kekuasaan politik, dan untuk berpolitik butuh moral. Dengan demikian kata Natsir Agama dan Negara tidak bisa dipisahkan.
IV. Kesimpulan.
              Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1.         Latar belakang munculnya polemik antara Soekarno dan M. Natsir tentang hubungan antara agama dan negara, karena adanya perbedaan pemahaman terhadap agama, walaupun keduanya sama-sama muslim.
2.         selain adanya perbedaan pemahaman yang terhadap agama antara Soekarno dan M. Natsir tentang, juga karena adanya perbedaan kepentingan politik. Perbedaan tersebut adalah jika Soekarno berasal dari nasionalisme tulen, sementara M. Natsir berasal dari nasionalisme Islam.
3.         Kepentingan Soekarno menggagaskan tentang pemisahan antara agama dan negara, karena Soekarno berkepentingan untuk mengakomodasi seluruh kekuatan politik yang ada di Indonesia pada waktu itu, untuk mendukung kepentingan politiknya dalam upaya mengusir penjajahan Jepang. Sedangkan kepentingan M. Natsir menyatukan antara agama dan negara, karena Natsir melihat bahwa mayoritas bangsa Indonesia adalah Islam. Keadaan ini merupakan potensi yang memliki kekuatan politik yang besar pada tingkat akar rumput dalam upaya melawan penjajahan Jepang.
4.         Dengan demikian sekalipun mereka memiliki pandangan yang berbeda dalam memahami hubungan agama dan negara, tetapi mereka memiliki tujuan yang sama yaitu upaya penggalangan untuk mengusir imperialisme dan kolonialisme asing.
DAFTAR PUSTAKA

Alkilany, Ismail, Sekularisme: Upaya Memisahkan agama dari Negara, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, 1992.

Kaabah, Rifyal, Islam dan Fundamentalisme, Pustaka Panji Masyarakat, Jakarta, 1984,


Mukti AH, Islam dan Sekularisme di Turki Modern, Jakarta: Djambatan, 1994.

Natsir, M. , "Persekot," dalam Capita Selecta I, dihimpun oleh D.P. Sati Alimin, Bulan Bintang Jakarta, 1973,

Soekarno, Di Bawah Bendera Revolusi, panitia penerbit Dibawah Bendera Revolusi, Jakarta, 1964,





   [1] Rifyal Kaabah, Islam dan Fundamentalisme, Pustaka Panji Masyarakat, Jakarta, 1984, h. 18. Ismail Alkilany, Sekularisme: Upaya Memisahkan agama dari Negara, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, 1992., h. 77.
    [2] Mukti AH, Islam dan Sekularisme di Turki Modern, Jakarta: Djambatan, 1994, h. 15
   [3] Baca Selengkapnya Ismail Alkilany, Sekularisme: Upaya Memisahkan agama dari Negara, Jakarta, Pustaka Al-Kautsar, 1992., h. 17
   [4] Soekarno, Di Bawah Bendera Revolusi, panitia penerbit Dibawah Bendera Revolusi, Jakarta, 1964, h. 404.

   [5] Ibid.
   [6] Ibid.
   [7] Ibid h. 401.
   [8] Ibid.
   [9] Ibid.
   [10] Ibid. h. 415
   [11] Berbeda dengan bagian-bagian judul tulisan Natsir yang lain, dalam menghimpun tulisan-tulisan Natsir tentang "Persatuan Agama dengan Negara" yang terdiri dari 12 judul itu, D.P. Sati Alimin tidak membubuhkan tanggal penulisan pada setiap akhir tulisan. M. Natsir, "Persekot," dalam Capita Selecta I, dihimpun oleh D.P. Sati Alimin, Bulan Bintang Jakarta, 1973, h. 432.
   [12] M. Natsir, "Persekot," dalam Capita Selecta I, dihimpun oleh D.P. Sati Alimin, Bulan Bintang Jakarta, 1973, h. 432.
   [13] Ibid., h. 437.
   [14] Ibid.
   [15] M. Natsir, Op-Cit., h. 442.

   [16] Ibid., h. 438
   [17] Ibid., h. 445
   [18] Ibid., h. 440
   [19] Ibid., h. 441
   [20] Ibid., h. 442
   [21] Ibid., h. 443
   [22] Ibid.
   [23] Ibid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar