Minggu, 16 September 2012

PERBANDINGAN PERAN MILITER MASA ORDE BARU DAN ORDE REFORMASI










PERBANDINGAN PERAN MILITER MASA ORDE BARU DAN ORDE REFORMASI







PENDAHULUAN

            Supremasi sipil dibangun dengan sebuah budaya politik yang baik. Budaya politik adalah suatu parameter dimana peran sipil sangat dominan dalam sebuah Negara. Budaya politik yang baik dapat diwujudkan ketika mesin politik (partai) dapat menyentuh akar rumput dan melakukan kaderisasi politik yang baik. Pada masa pergerakan nasional di Indonesia, tidak ada partai politik yang mengakar dan memberikan budaya politik yang baik ke bawah. Partai-partai politik yang ada saat itu antara lain Serikat Islam, Partai Sosialis Indonesia, Partai Nasional Mahasiswa (PNI), dan lain-lain. Sarikat Islam merupakan partai yang memiliki massa yang sangat besar saat itu. Akan tetapi, banyaknya anggota partai tersebut tidak diimbangi dengan internalisasi budaya politik yang baik ke seluruh anggotannya. Banyaknya anggota partai itu lebih dikarenakan variabel lainnya yang berpengaruh seperti ikatan keagamaan maupun ketokohan pimpinannya terutama Hadji Oemar Said Tjokroaminoto. Begitu juga dengan partai lainnya. Partai-partai lain juga kurang memiliki budaya politik yang baik. Partai Sosialis Indonesia pimpinan Sjahrir memang dikenal sebagai partai kalangan intelektual. Namun, citra partai ini tidak menjadikan budaya politik partai itu dikatakan baik karena intelektual para pimpinan partainya tidak diiringi dengan budaya politik yang baik sehingga terbukti bahwa partai ini hanya memiliki kader-kader berkualitas di tingkat pimpinannya tetapi tidak memiliki sentuhan politik di lapisan akar rumput.
            Gambaran lintasan sejarah di atas memberikan suatu analisa tentang masuknya militer dalam dunia politik. Faktor dominan masuknya militer dalam dunia politik adalah budaya politik yang kurang dibangun dengan baik oleh partai-partai politik. Ketidakbecusan kalangan sipil  dalam mengurus Negara membuat kalangan militer berinisiatif untuk masuk (intervensi) kedunia politik. Masuknya militer dalam dunia politik disebut dengan Pretorian.
             Militer yang masuk ke dalam dunia politik didasari oleh banyak faktor pendukung. Secara kultur yang dibangun dalam dunia militer memang menjadikan setiap perwira militer memiliki keunggulan yang dapat dikatakan melebihi kualitas sipil. Indoktrinasi yang dibangun Masuknya militer dalam dunia politik membuat kalangan sipil memikirkan untuk melakukan pengontrolan terhadap militer agar tidak terjadi kudeta yang bisa mengancam kekuasaan sipil. Oleh karena itulah dibuat sebuah pemerintahan sipil yang bias mengontrol militer dengan sebaik-baiknya.
            Mengingat begitu pentingnya peranan Militer terhadap stabilitas bangsa, perlu kiranya dipahami, seperti apakah peranan militer di Indonesia khususnya pada masa Orde Baru dan di era Reformasi ini. Hal ini berguna untuk dapat membangun sebuah budaya politik yang baik dan diharapkan mampu memberikan solusi alternatif tentang harus bagaimana kekuasaan memposisikan militer dalam peranannya sebagai sebuah kekuatan. 
            Tugas makalah ini berusaha menjelaskan, bagaimana peranan militer pada kedua masa tersebut diatas. Mulai dari bentuk peranannya, legitimasi yang didapat, dan dampak dari peranan militer terhadap politik.













PEMBAHASAN

PERANAN MILIER PADA MASA ORDE LAMA
            Sejarah kekuasaan Orde Baru adalah sejarah neo-fasisme (militer), yaitu suatu dan korporatisme. Ciri dari pemerintahan neo-fasisme militer ini adalah mengandalkan kekuatan militer untuk menganhcurkan organisasi-organisasi massa (kekuatan sipil) dan menghilangkan semua gerakan militant. Bibit-bibitnya telah muncul sejak masa Demokrasi Terpimpin, dan diaplikasikan “nyaris” sempurna pada masa Orde Baru. Meskipun ketetapan bahwa Tentara Nasional Indonesia (TNI) sebagai kekuatan sosial baru dikukuhkan pada tahun 1982, yaitu melalui UU No. 20/1982, namun prakteknya peran sosial-politik TNI telah berjalan sejak tahun 1960-an. Terutama, sejak Soeharto berkuasa pada tahun 1966, peran sosial-politik TNI semakin membesar. Peran social-politik TNI ini kemudian lebih dikenal dengan sebutan “dwi fungsi ABRI/TNI”.
            Dwi fungsi TNI ini muncul sebagai refleksi atas pengalaman politik masa sebelumnya. Sebelum tahun 1952, hamper semua keputusan-keputusan politik ditentukan oleh politis-sipil, sementara campur tangan militer di politik sangat minim dan tidak signifikan. Akibatnya, keberadaan militer menjadi bergantung kepada kemauan politisi sipil. Ketika kabinet Wilopo melakukan berbagai penghematan dalam anggaran dan belanja Negara, termasuk memperkecil anggaran di sektor pertahanan, Menteri Pertahanan Sri Sultan Hamengkubuwono IX melakukan rasionalisasi organisasi TNI. Akibatnya sekitar 80.000 anggota militer terancam di-demobilisasi.           
KONSEP DWI FUNGSI ABRI
peringatan ulang tahun Akademi Militer Nasional (AMN) pada 12 November 1958 di Magelang, dan istilah “dwi fungsi” diperkenalkan kemudian pada rapat pimpinan Polri di Porong tahun 1960. Dwi fungsi merupakan istilah untuk menyebut dua peran militer, yaitu fungsi tempur dan fungsi “Pembina wilayah” atau Pembina masyarakat. Nasution menganggap bahwa, “TNI bukan sekedar sebagai alat sipil sebagaimana terjadi di Negara-negara Barat dan bukan pula sebagai rezim militer yang memegang kekuasaan Negara. Dwi fungsi merupakan kekuatan sosial, kekuatan rakyat yang bahu-membahu dengan kekuatan rakyat lainnya.
MILITER PADA MASA ORDE LAMA
            Pada 28 Juli 1952 parlemen mengadakan serangkaian siding yang membahas persoalan-persoalan Kementrian Pertahanan dan Angkatan Perang, khususnya persoalan internal TNI AD. Namun pimpinan TNI AD menganggap bahwa debat tersebut telah membuka aib TNI AD. Sehingga, para pimpinan TNI AD, terutama yang berhaluan kanan marah karena menganggap para politisi sipil telah mencampuri urusan internal TNI AD.
            Meskipun Sukarno berhasil menggagalkan kudeta, namun militer berhasil mendapatkan bargaining position, di arena politik nasional. Pada tahun 1957, terjadi pemberontakan di beberapa daerah, sehingga peran militer semakin dibutuhkan, dan sejak saat itu, perannya semakin besar pula di bidang politik.
            Satu-satunya kelompok sipil yang kritis terhadap militer AD hanyalah Partai Komunis Indonesia (PKI). Setelah pemberangusan partai-partai politik di awal tahun 1960-an, kekuatan politik nasional hanya terdiri dari tiga, yaitu Sukarno, PKI dan Militer (AD). Antara PKI dan TNI saling bersaing dan melakukan “maneuver” untuk menarik perhatian Sukarno. Sejak tahun 1963, peristiwa demi peristiwa telah mempengaruhi dinamikan hubungan segitiga kekuasaan n tersebut. Sebagai missal, pergantian KSAD dari Nasution kepada Ahmad Yani pada Juni 1962, pencabutan Undang-undang Keadaan Bahaya (SOB) pada November 1962, dianggap telah menguntungkan PKI. Perihal diangkatnya Yani tersebut dianggap sebagai kemunduran serius bagi kelompok Nasution yang mendukung militer sebagai kekuata politik yang utuh. Setelah dilantik sebagai KSAD, A. Yani segera mengganti sejumlah  Pangima daerah yang berani menentang Sukarno dengan isu-isu komunis.
            Tetapi, ketika Maret 1963 terjadi kerusuhan anti-cina di Jawa Barat pada saat Sukarno berkunjung ke Cina, kelompok AD dianggap berhasil mempermalukan Sukarno dan sekaligus memperlemah PKI. Kerusuhan tersebut disinyalir sengaja dilakukan oleh militer karena pada saat itu sejumlah komandan militer setempat terlihat bekerjasama dengan perusuh. Kemudian pada tahun 1965, terjadi peristiwa controversial “G-30-S”, yang tidak saja mematikan gerakan PKI di Indonesia, tetapi juga merubuhkan kekuasaan politik Sukarno. Sehingga, militer menjadi  satu-satunya pemenang, dan segeralah babak Orde Baru dimulai. Sejak saat itu, militer mendominasi hamper di seluruh bidang sosial, politik dan ekonomi nasional.
MILITER PADA MASA ORDE BARU
            Agar keberadaan militer di bidang sosial-politik diakui, maka pemerintah militer Orde Baru melakukan langkah-langkah yuridis sebagai berikut:
  1. Memasukan dwi fungsi ABRI dalam GBHN, tentang ABRI sebagai modal dasar pembangunan.
  2. UU No. 20/1982, tentang pokok-pokok HanKam Negara.
  3. UU No. 2/1988.
  4. UU No. 1/1989.
Dua produk Undang-undang yang terakhir merupakan penyempurnaan dari produk UU sebelumnya. Setidak-tidaknya, terdapat tiga peran militer pada masa orde baru yang berakibat buruk bagi kehidupan demokrasi.
Pertama adalah menempati jabatan-jabatan politis seperti menteri, gubenur, bupati, anggota Golkar dan duduk mewakilinya di DPR. Misalnya, pada tahun 1966, anggota militer yang menjadi menteri sebanyak 12 orang dari 27 anggota kabinet dan 11 anggota militer yang menempati jabatan strategis di departemen-departemen urusan sipil. Di DPR, sebanyak 75 anggota militer duduk mewakili militer. Di tingkat daerah pada tahun 1968, sebanyak 68 % gubenur dijabat oleh anggota militer, dan 92 % pada tahun 1970. Sementara, pada tahun 1968, terdapat sebanyak 59 % bupati di Indonesia berasal dari anggota militer. Kemudian pada tahun 1973, jumlah militer yang menjadi menteri sebanyak 13 orang, sebanyak 400 anggota militer dikaryakan di tingkat pusat, dan 22 dari 27 gubenur di Indonesia dijabat oleh militer. Hingga tahun 1982, sebanyak 89 % jabatan-jabatan strategis di tingkat pusat yang berkaitan dengan persoalan sipil dijabat oleh anggota militer. Kemudian pasca pemilu 1987, sebanyak 80 % anggota DPR dari fraksi ABRI dan sebanyak 34 perwira senior menjadi anggota DPR melalui fraksi Golkar. Kemudian,  120 anggota militer terpilih sebagai pimpinan Golkar daerah dan hampir 70 % wakil daerah dalam kongres nasional Golkar berasal dari militer. Jumlah fraksi ABRI  di DPR  juga meningkat dari 75 menjadi 100. Kenaikan ini dianggap tidak layak, karena jumlah ABRI hanya 500.000 orang ( Cholisin, 2002 dan pakpahan, 1994). Banyaknya anggota militer yang duduk di parlemen telah mempengaruhi keputusan-keputusan yang di buat oleh DPR. Misalnya, pengalaman masa kerja DPR dari 1971-1977, dan 1977-1982, fraksi ABRI terlihat paling keras menentang penggunaan hak interpelasi dan angket pada kasus korupsi di Pertamina yang diusulkan oleh F-PP dan F-DI (pakpahan, 1994:159). Sikap yang sama juga ditunjukkan oleh F-ABRI dalam menolak usulan penggunaan hak angket pada kasus pembunuhan massal di Tanjung Priok.
Kedua adalah menghegemoni kekuatan-kekuatan sipil. Contoh yang paling mencolok pada kasus ini adalah pembentukan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), yang dapat diartikan sebagai salah satu upaya “mengendalikan” kekuatan intelektual (sipil) melalui sebuah lembaga. Hal ini bertentangan dengan hakikat cendekiawan yang berpikiran bebas dan kreatif, tetapi diikat dalam suatu wadah yang bersifat ideologis. Sebelumnya, militer selalu menganggap bahwa intelektual Indonesia terlalu “bias barat”. Dengan kelahiran ICMI, diharapkan intelektual tidak lagi “bias barat”, tetapi lebih “bersahabat” dengan militer. Contoh lain terjadi pada Maret 1997, di mana Kassospol ABRI, Letjen Syarwan Hamid mengumpulkan para guru besar dari seluruh Indonesia di Bogor. Tujuan dari pengumpulan para profesor tersebut adalah untuk “memberi informasi” mengenai bahaya Partai Rakyat Demokratik (PRD) dan bangkitnya komunisme baru. Rejim militer orde baru menganggap bahwa PRD dianggap berbahaya selain karena beraliran kiri dan diasosiasikan dengan komunis dan PKI, PRD juga dituduh sebagai dalang kerusuhan peristiwa 27 Juli 1996. Militer mendikotomikan antara Barat dan Timur secara oposisional. Barat adalah sesuatu yang berbau asing, sekular dan sangat bertentangan dengan Timur yang relijius dan menjunjung tinggi kesantunan. Oleh karena itu, untuk melihat Indonesia maka tidak dapat dipahami dengan kerangka struktural Barat yang liberal. Hal tersebut juga berlaku untuk melihat kedudukan militer di Indonesia. Dalam menghadapi berbagai persoalan, termasuk isu demokratisasi dan hak asasi manusia, militer selalu mendefinisikan bahwa Indonesia memiliki keunikan tersendiri sehingga memerlukan penanganan sendiri sesuai dengan kepentingan militer.
Ketiga adalah melakukan tindakan-tindakan represif terhadap rakyat. Beberapa kasus yang terjadi pada masa ini adalah orde baru melakukan pembunuhan terhadap ratusan ribu anggota PKI dan pendukung Soekarno, serta memenjarakan ribuan lainnya tanpa proses pengadilan (1966-1971), pembunuhan massal terhadap anggota kelompok Islam di Tanjung Priok (1984), kasus tanah petani di Jenggawah (1989), pelaksanaan operasi militer di Aceh ( 1989-1999), Timor Lorosae (1980-1999), dan Papua (1960-1999), penggusuran dan intimidasi penduduk di Kedung Ombo, Jawa Tengah (1989), Penembekan penduduk di sekitar waduk Nipah, Madura (1993), intidimidasi terhadap pendukung non Golkar menjelang setiap pemilu (1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997), penyerangan terhadap kantor PDI (1996), Penculikan aktivis pro demokrasi (1997), penembekan empat mahasiswa Trisakti (1998), tregedi Semanggi (1998) dan masih banyak lagi peristiwa-peristiwa lainnya, yang karena terjadi di wilayah pedalaman dan jumlah korbannya sedikit sehingga tidak diberitakan secara luas (Noorsalim, 2003).
POSISI MILITER PADA MASA REFORMASI
            Setelah Soeharto turun dari jabatan presiden pada Mei 1998, telah terjadi tiga kali pergantian presiden di Indonesia, yaitu Habibie (1998-1999), Abdurahman Wahid (1999-2000) dan Megawati (2002-kini). Masa yang oleh sebagian kalangan disebut masa reformasi ini “sempat” mendorong para militer TNI untuk meninggalkan perannya di bidang politik. Menjelang 1998, tekanan yang luar biasa dilakukan oleh mahasiswa dan rakyat telah menyebabkan TNI kehilangan wibawa dan melemahkan bargaining position militer di arena politik nasional. Tuntutan terhadap TNI untuk meninggalkan arena politik tersebut nyaris saja terpenuhi. Namun, dorongan itu tidak terlalu kuat, sehingga lambat laun peranan militer dalam bidang politik kembali menguat.
            Kembalinya militer dalam bidang politik dikarenakan kelompok sipil terlalu lemah dan cenderung inferior di hadapan militer. Selain itu, kelompok sipil cenderung menganggap dirinya paling benar dan paling berjasa atas turunya Soeharto dan bergulirnya reformasi. Besarnya dukungan rakyat terhadap politisi sipil di DPR untuk menghilangkan peran politik TNI ditanggapi setengah hati. Hal tersebut nampat pada TAP MPR No. VII/2000 yang hanya memutuskan bahwa anggota TNI masih diperkenankan duduk di parlemen hingga 2009. Adapun bunyi TAP tersebut sebagai berikut:
            “........Keikutsertaan Tentara Nasional dalam menentukan arah kebijakan nasional disalurkan melalui Majelis Permusyawaratan Rakyat paling lama sampai dengan 2009.”
            Selain alasan tersebut diatas, ternyata TNI memang tidak menghendaki perannya di bidang politik berakhir, “nyaris hilang”. Pada awal reformasi 1998, kelompok militer politik nyaris kalah secara politik. Hal ini ditandai dengan digusurnya beberapa perwira militer dari jabatan strategis. Misalnya, bupati, gubenur, menteri pertahanan, dan jabatan-jabatan lain diusahakan untuk tidak dijabat oleh militer lagi. Selain itu, nampak pula kedudukan TNI/Polri dalam lembaga perwakilan rakyat juga mulai dibatasi.


















KESIMPULAN
            Peranan militer dan pemerintahan tidak berlangsung lama, dalam waktu yang relatif singkat, kelompok militer politik telah melakukan konsolidasi, sehingga peranan politiknya menjadi lebih besar dari masa sebelumnya. Dalam setahun terakhir, beberapa langkah yang menguntungkan kelompok militer secara politis diambil. Misalnya, pendirian Kodam Iskandar Muda di Aceh dan Kodam Pattimura di Ambon. Selain itu jabatan-jabatan strategis kembali dipegang oleh militer, misalnya Menteri Dalam Negeri dijabat Mayor Jederal (Purn. AD) Hari Sabarno dan pencalonan kembali Mayor Jenderal (AD) Sutiyoso sebagai gubenur Jakarta.
            Terdapat dua tataran strategis yang tengah dijalankan oleh kelompok militer politik:
Pertama, tataran formal, yaitu usaha-usaha untuk memasukkan kepentingan politiknya melalui Undang-undang atau peraturan formal. Misalnya, memasukkan hak memilih dan dipilih bagi anggota TNI/ PolRi dalam RUU Pemilu. Proses pada tataran ini memanfaatkan anggota militer yang berada dalam birokrasi dan parlemen, seperti mempengaruhi anggota DPR untuk mengakomodasi kepentingan politik militer. Adapun strategi yang dijalankan pada tataran ini adalah usaha-usaha untuk mempengaruhi publik melalui media dan melakukan lobi-lobi dengan kekuatan politik yang ada di DPR.
Kedua, tataran non-formal adalah usaha-usaha untuk “mendekati” kelompok tertentu atau figur-figur tertentu yang secara politik mempunyai kekuasaan besar. Disebut non-formal karena pendekatan yang digunakan tidak melalui jalur politik yang formal. Tetapi menggunakan jaringan-jaringan tertentu, seperti pertemanan, jaringan bisnis, bahkan jaringan kriminal. Dalam strategi ini, seringkali terjadi, “politik dagang sapi” dengan antara kelompok kepentingan. Sebagai misal, pengangkatan beberapa perwira pada jabatan-jabatan penting, pencalonan kembali gubenur Sutiyoso dan penghentian penyelidikan kasus korupsi di berbagai yayasan Angkatan Darat. Jika dilihat dari sudut pandang strategi politik, beberapa kebijakan yang diambil yang berkaitan dengan kepentingan militer adalah serangkaian uji kasus untuk melihat sejauh mana resistensi masyarakat terdapat peranan politik militer. Strategi ini adalah cara untuk mengetahui peta politik nasional, terutama yang ada di DPR maupun masyarakat. Dengan demikian,
kelompok militer akan lebih mudah untuk menjalankan strategi di mana militer harus bermain politik.
Tujuan dari strategi-strategi yang dijalankan oleh kelompok militer politik diatas, adalah untuk mendapat akses kekuasaan politik yang lebih besar. Besarnya akses kekuasaan politik bagi kelompok militer ini secara lebih jauh akan berpengaruh pada besarnya akses ekonomi. Alokasi dana untuk militer yang dianggarkan oleh pemerintah hanya mencukupi sekitar 30 % dari kebutuhan-kebutuhan militer secara keseluruhan. Selebihnya, 70 % lainnya militer harus mencari sumber pendanaannya sendiri. Dengan demikian semakin terbukannya akses informasi, maka militer tidak dapat lagi memakai cara-cara lama seperti praktek korupsi, mark up, backing bagi sindikat kriminal dan lain-lain, karena masyarakat akan mudah untuk mengetahui akan dipertanyakan.

1 komentar: