PERBANDINGAN
PERAN MILITER MASA ORDE BARU DAN ORDE REFORMASI
PENDAHULUAN
Supremasi
sipil dibangun dengan sebuah budaya politik yang baik. Budaya politik adalah
suatu parameter dimana peran sipil sangat dominan dalam sebuah Negara. Budaya
politik yang baik dapat diwujudkan ketika mesin politik (partai) dapat
menyentuh akar rumput dan melakukan kaderisasi politik yang baik. Pada masa
pergerakan nasional di Indonesia, tidak ada partai politik yang mengakar dan
memberikan budaya politik yang baik ke bawah. Partai-partai politik yang ada saat
itu antara lain Serikat Islam, Partai Sosialis Indonesia, Partai Nasional
Mahasiswa (PNI), dan lain-lain. Sarikat Islam merupakan partai yang memiliki
massa yang sangat besar saat itu. Akan tetapi, banyaknya anggota partai
tersebut tidak diimbangi dengan internalisasi budaya politik yang baik ke
seluruh anggotannya. Banyaknya anggota partai itu lebih dikarenakan variabel
lainnya yang berpengaruh seperti ikatan keagamaan maupun ketokohan pimpinannya
terutama Hadji Oemar Said Tjokroaminoto. Begitu juga dengan partai lainnya.
Partai-partai lain juga kurang memiliki budaya politik yang baik. Partai
Sosialis Indonesia pimpinan Sjahrir memang dikenal sebagai partai kalangan
intelektual. Namun, citra partai ini tidak menjadikan budaya politik partai itu
dikatakan baik karena intelektual para pimpinan partainya tidak diiringi dengan
budaya politik yang baik sehingga terbukti bahwa partai ini hanya memiliki
kader-kader berkualitas di tingkat pimpinannya tetapi tidak memiliki sentuhan
politik di lapisan akar rumput.
Gambaran lintasan sejarah di atas
memberikan suatu analisa tentang masuknya militer dalam dunia politik. Faktor
dominan masuknya militer dalam dunia politik adalah budaya politik yang kurang
dibangun dengan baik oleh partai-partai politik. Ketidakbecusan kalangan
sipil dalam mengurus Negara membuat
kalangan militer berinisiatif untuk masuk (intervensi) kedunia politik.
Masuknya militer dalam dunia politik disebut dengan Pretorian.
Militer yang masuk ke
dalam dunia politik didasari oleh banyak faktor pendukung. Secara kultur yang
dibangun dalam dunia militer memang menjadikan setiap perwira militer memiliki
keunggulan yang dapat dikatakan melebihi kualitas sipil. Indoktrinasi yang
dibangun Masuknya militer dalam dunia politik membuat kalangan sipil memikirkan
untuk melakukan pengontrolan terhadap militer agar tidak terjadi kudeta yang bisa
mengancam kekuasaan sipil. Oleh karena itulah dibuat sebuah pemerintahan sipil
yang bias mengontrol militer dengan sebaik-baiknya.
Mengingat begitu pentingnya peranan
Militer terhadap stabilitas bangsa, perlu kiranya dipahami, seperti apakah
peranan militer di Indonesia khususnya pada masa Orde Baru dan di era Reformasi
ini. Hal ini berguna untuk dapat membangun sebuah budaya politik yang baik dan
diharapkan mampu memberikan solusi alternatif tentang harus bagaimana kekuasaan
memposisikan militer dalam peranannya sebagai sebuah kekuatan.
Tugas makalah ini berusaha
menjelaskan, bagaimana peranan militer pada kedua masa tersebut diatas. Mulai
dari bentuk peranannya, legitimasi yang didapat, dan dampak dari peranan
militer terhadap politik.
PEMBAHASAN
PERANAN
MILIER PADA MASA ORDE LAMA
Sejarah kekuasaan Orde Baru adalah
sejarah neo-fasisme (militer), yaitu suatu dan korporatisme. Ciri dari
pemerintahan neo-fasisme militer ini adalah mengandalkan kekuatan militer untuk
menganhcurkan organisasi-organisasi massa (kekuatan sipil) dan menghilangkan
semua gerakan militant. Bibit-bibitnya telah muncul sejak masa Demokrasi
Terpimpin, dan diaplikasikan “nyaris” sempurna pada masa Orde Baru. Meskipun
ketetapan bahwa Tentara Nasional Indonesia (TNI) sebagai kekuatan sosial baru
dikukuhkan pada tahun 1982, yaitu melalui UU No. 20/1982, namun prakteknya
peran sosial-politik TNI telah berjalan sejak tahun 1960-an. Terutama, sejak
Soeharto berkuasa pada tahun 1966, peran sosial-politik TNI semakin membesar.
Peran social-politik TNI ini kemudian lebih dikenal dengan sebutan “dwi fungsi
ABRI/TNI”.
Dwi fungsi TNI ini muncul sebagai
refleksi atas pengalaman politik masa sebelumnya. Sebelum tahun 1952, hamper
semua keputusan-keputusan politik ditentukan oleh politis-sipil, sementara
campur tangan militer di politik sangat minim dan tidak signifikan. Akibatnya,
keberadaan militer menjadi bergantung kepada kemauan politisi sipil. Ketika
kabinet Wilopo melakukan berbagai penghematan dalam anggaran dan belanja
Negara, termasuk memperkecil anggaran di sektor pertahanan, Menteri Pertahanan
Sri Sultan Hamengkubuwono IX melakukan rasionalisasi organisasi TNI. Akibatnya
sekitar 80.000 anggota militer terancam di-demobilisasi.
KONSEP DWI FUNGSI ABRI
peringatan
ulang tahun Akademi Militer Nasional (AMN) pada 12 November 1958 di Magelang,
dan istilah “dwi fungsi” diperkenalkan kemudian pada rapat pimpinan Polri di
Porong tahun 1960. Dwi fungsi merupakan istilah untuk menyebut dua peran
militer, yaitu fungsi tempur dan fungsi “Pembina wilayah” atau Pembina
masyarakat. Nasution menganggap bahwa, “TNI bukan sekedar sebagai alat sipil
sebagaimana terjadi di Negara-negara Barat dan bukan pula sebagai rezim militer
yang memegang kekuasaan Negara. Dwi fungsi merupakan kekuatan sosial, kekuatan
rakyat yang bahu-membahu dengan kekuatan rakyat lainnya.
MILITER PADA MASA ORDE LAMA
Pada
28 Juli 1952 parlemen mengadakan serangkaian siding yang membahas persoalan-persoalan
Kementrian Pertahanan dan Angkatan Perang, khususnya persoalan internal TNI AD.
Namun pimpinan TNI AD menganggap bahwa debat tersebut telah membuka aib TNI AD.
Sehingga, para pimpinan TNI AD, terutama yang berhaluan kanan marah karena menganggap
para politisi sipil telah mencampuri urusan internal TNI AD.
Meskipun Sukarno berhasil
menggagalkan kudeta, namun militer berhasil mendapatkan bargaining position, di arena politik nasional. Pada tahun 1957,
terjadi pemberontakan di beberapa daerah, sehingga peran militer semakin
dibutuhkan, dan sejak saat itu, perannya semakin besar pula di bidang politik.
Satu-satunya kelompok sipil yang
kritis terhadap militer AD hanyalah Partai Komunis Indonesia (PKI). Setelah
pemberangusan partai-partai politik di awal tahun 1960-an, kekuatan politik
nasional hanya terdiri dari tiga, yaitu Sukarno, PKI dan Militer (AD). Antara
PKI dan TNI saling bersaing dan melakukan “maneuver” untuk menarik perhatian
Sukarno. Sejak tahun 1963, peristiwa demi peristiwa telah mempengaruhi
dinamikan hubungan segitiga kekuasaan n tersebut. Sebagai missal, pergantian
KSAD dari Nasution kepada Ahmad Yani pada Juni 1962, pencabutan Undang-undang
Keadaan Bahaya (SOB) pada November 1962, dianggap telah menguntungkan PKI.
Perihal diangkatnya Yani tersebut dianggap sebagai kemunduran serius bagi
kelompok Nasution yang mendukung militer sebagai kekuata politik yang utuh.
Setelah dilantik sebagai KSAD, A. Yani segera mengganti sejumlah Pangima daerah yang berani menentang Sukarno
dengan isu-isu komunis.
Tetapi, ketika Maret 1963 terjadi
kerusuhan anti-cina di Jawa Barat pada saat Sukarno berkunjung ke Cina,
kelompok AD dianggap berhasil mempermalukan Sukarno dan sekaligus memperlemah
PKI. Kerusuhan tersebut disinyalir sengaja dilakukan oleh militer karena pada
saat itu sejumlah komandan militer setempat terlihat bekerjasama dengan
perusuh. Kemudian pada tahun 1965, terjadi peristiwa controversial “G-30-S”,
yang tidak saja mematikan gerakan PKI di Indonesia, tetapi juga merubuhkan
kekuasaan politik Sukarno. Sehingga, militer menjadi satu-satunya pemenang, dan segeralah babak
Orde Baru dimulai. Sejak saat itu, militer mendominasi hamper di seluruh bidang
sosial, politik dan ekonomi nasional.
MILITER PADA MASA ORDE BARU
Agar keberadaan militer di bidang
sosial-politik diakui, maka pemerintah militer Orde Baru melakukan
langkah-langkah yuridis sebagai berikut:
- Memasukan dwi fungsi ABRI dalam GBHN, tentang ABRI sebagai modal dasar pembangunan.
- UU No. 20/1982, tentang pokok-pokok HanKam Negara.
- UU No. 2/1988.
- UU No. 1/1989.
Dua
produk Undang-undang yang terakhir merupakan penyempurnaan dari produk UU
sebelumnya. Setidak-tidaknya,
terdapat tiga peran militer pada masa orde baru yang berakibat buruk bagi
kehidupan demokrasi.
Pertama adalah menempati jabatan-jabatan politis seperti
menteri, gubenur, bupati, anggota Golkar dan duduk mewakilinya di DPR.
Misalnya, pada tahun 1966, anggota militer yang menjadi menteri sebanyak 12
orang dari 27 anggota kabinet dan 11 anggota militer yang menempati jabatan
strategis di departemen-departemen urusan sipil. Di DPR, sebanyak 75 anggota
militer duduk mewakili militer. Di tingkat daerah pada tahun 1968, sebanyak 68
% gubenur dijabat oleh anggota militer, dan 92 % pada tahun 1970. Sementara,
pada tahun 1968, terdapat sebanyak 59 % bupati di Indonesia berasal dari
anggota militer. Kemudian pada tahun 1973, jumlah militer yang menjadi menteri
sebanyak 13 orang, sebanyak 400 anggota militer dikaryakan di tingkat pusat,
dan 22 dari 27 gubenur di Indonesia dijabat oleh militer. Hingga tahun 1982,
sebanyak 89 % jabatan-jabatan strategis di tingkat pusat yang berkaitan dengan
persoalan sipil dijabat oleh anggota militer. Kemudian pasca pemilu 1987,
sebanyak 80 % anggota DPR dari fraksi ABRI dan sebanyak 34 perwira senior
menjadi anggota DPR melalui fraksi Golkar. Kemudian, 120 anggota militer terpilih sebagai pimpinan
Golkar daerah dan hampir 70 % wakil daerah dalam kongres nasional Golkar
berasal dari militer. Jumlah fraksi ABRI
di DPR juga meningkat dari 75
menjadi 100. Kenaikan ini dianggap tidak layak, karena jumlah ABRI hanya
500.000 orang ( Cholisin, 2002 dan pakpahan, 1994). Banyaknya anggota militer
yang duduk di parlemen telah mempengaruhi keputusan-keputusan yang di buat oleh
DPR. Misalnya, pengalaman masa kerja DPR dari 1971-1977, dan 1977-1982, fraksi
ABRI terlihat paling keras menentang penggunaan hak interpelasi dan angket pada
kasus korupsi di Pertamina yang diusulkan oleh F-PP dan F-DI (pakpahan,
1994:159). Sikap yang sama juga ditunjukkan oleh F-ABRI dalam menolak usulan
penggunaan hak angket pada kasus pembunuhan massal di Tanjung Priok.
Kedua adalah menghegemoni kekuatan-kekuatan sipil. Contoh
yang paling mencolok pada kasus ini adalah pembentukan Ikatan Cendekiawan
Muslim Indonesia (ICMI), yang dapat diartikan sebagai salah satu upaya
“mengendalikan” kekuatan intelektual (sipil) melalui sebuah lembaga. Hal ini
bertentangan dengan hakikat cendekiawan yang berpikiran bebas dan kreatif,
tetapi diikat dalam suatu wadah yang bersifat ideologis. Sebelumnya, militer
selalu menganggap bahwa intelektual Indonesia terlalu “bias barat”. Dengan
kelahiran ICMI, diharapkan intelektual tidak lagi “bias barat”, tetapi lebih
“bersahabat” dengan militer. Contoh lain terjadi pada Maret 1997, di mana
Kassospol ABRI, Letjen Syarwan Hamid mengumpulkan para guru besar dari seluruh
Indonesia di Bogor. Tujuan dari pengumpulan para profesor tersebut adalah untuk
“memberi informasi” mengenai bahaya Partai Rakyat Demokratik (PRD) dan
bangkitnya komunisme baru. Rejim militer orde baru menganggap bahwa PRD
dianggap berbahaya selain karena beraliran kiri dan diasosiasikan dengan
komunis dan PKI, PRD juga dituduh sebagai dalang kerusuhan peristiwa 27 Juli
1996. Militer mendikotomikan antara Barat dan Timur secara oposisional. Barat
adalah sesuatu yang berbau asing, sekular dan sangat bertentangan dengan Timur
yang relijius dan menjunjung tinggi kesantunan. Oleh karena itu, untuk melihat
Indonesia maka tidak dapat dipahami dengan kerangka struktural Barat yang
liberal. Hal tersebut juga berlaku untuk melihat kedudukan militer di
Indonesia. Dalam menghadapi berbagai persoalan, termasuk isu demokratisasi dan
hak asasi manusia, militer selalu mendefinisikan bahwa Indonesia memiliki
keunikan tersendiri sehingga memerlukan penanganan sendiri sesuai dengan
kepentingan militer.
Ketiga adalah melakukan tindakan-tindakan represif
terhadap rakyat. Beberapa kasus yang terjadi pada masa ini adalah orde baru
melakukan pembunuhan terhadap ratusan ribu anggota PKI dan pendukung Soekarno,
serta memenjarakan ribuan lainnya tanpa proses pengadilan (1966-1971),
pembunuhan massal terhadap anggota kelompok Islam di Tanjung Priok (1984),
kasus tanah petani di Jenggawah (1989), pelaksanaan operasi militer di Aceh (
1989-1999), Timor Lorosae (1980-1999), dan Papua (1960-1999), penggusuran dan
intimidasi penduduk di Kedung Ombo, Jawa Tengah (1989), Penembekan penduduk di
sekitar waduk Nipah, Madura (1993), intidimidasi terhadap pendukung non Golkar
menjelang setiap pemilu (1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997), penyerangan
terhadap kantor PDI (1996), Penculikan aktivis pro demokrasi (1997), penembekan
empat mahasiswa Trisakti (1998), tregedi Semanggi (1998) dan masih banyak lagi
peristiwa-peristiwa lainnya, yang karena terjadi di wilayah pedalaman dan
jumlah korbannya sedikit sehingga tidak diberitakan secara luas (Noorsalim,
2003).
POSISI
MILITER PADA MASA REFORMASI
Setelah
Soeharto turun dari jabatan presiden pada Mei 1998, telah terjadi tiga kali
pergantian presiden di Indonesia, yaitu Habibie (1998-1999), Abdurahman Wahid
(1999-2000) dan Megawati (2002-kini). Masa yang oleh sebagian kalangan disebut
masa reformasi ini “sempat” mendorong para militer TNI untuk meninggalkan
perannya di bidang politik. Menjelang 1998, tekanan yang luar biasa dilakukan
oleh mahasiswa dan rakyat telah menyebabkan TNI kehilangan wibawa dan
melemahkan bargaining position militer
di arena politik nasional. Tuntutan terhadap TNI untuk meninggalkan arena
politik tersebut nyaris saja terpenuhi. Namun, dorongan itu tidak terlalu kuat,
sehingga lambat laun peranan militer dalam bidang politik kembali menguat.
Kembalinya
militer dalam bidang politik dikarenakan kelompok sipil terlalu lemah dan
cenderung inferior di hadapan militer. Selain itu, kelompok sipil cenderung
menganggap dirinya paling benar dan paling berjasa atas turunya Soeharto dan
bergulirnya reformasi. Besarnya dukungan rakyat terhadap politisi sipil di DPR
untuk menghilangkan peran politik TNI ditanggapi setengah hati. Hal tersebut
nampat pada TAP MPR No. VII/2000 yang hanya memutuskan bahwa anggota TNI masih
diperkenankan duduk di parlemen hingga 2009. Adapun bunyi TAP tersebut sebagai
berikut:
“........Keikutsertaan
Tentara Nasional dalam menentukan arah kebijakan nasional disalurkan melalui
Majelis Permusyawaratan Rakyat paling lama sampai dengan 2009.”
Selain
alasan tersebut diatas, ternyata TNI memang tidak menghendaki perannya di
bidang politik berakhir, “nyaris hilang”. Pada awal reformasi 1998, kelompok
militer politik nyaris kalah secara politik. Hal ini ditandai dengan digusurnya
beberapa perwira militer dari jabatan strategis. Misalnya, bupati, gubenur,
menteri pertahanan, dan jabatan-jabatan lain diusahakan untuk tidak dijabat
oleh militer lagi. Selain itu, nampak pula kedudukan TNI/Polri dalam lembaga
perwakilan rakyat juga mulai dibatasi.
KESIMPULAN
Peranan
militer dan pemerintahan tidak berlangsung lama, dalam waktu yang relatif
singkat, kelompok militer politik telah melakukan konsolidasi, sehingga peranan
politiknya menjadi lebih besar dari masa sebelumnya. Dalam setahun terakhir,
beberapa langkah yang menguntungkan kelompok militer secara politis diambil.
Misalnya, pendirian Kodam Iskandar Muda di Aceh dan Kodam Pattimura di Ambon.
Selain itu jabatan-jabatan strategis kembali dipegang oleh militer, misalnya
Menteri Dalam Negeri dijabat Mayor Jederal (Purn. AD) Hari Sabarno dan
pencalonan kembali Mayor Jenderal (AD) Sutiyoso sebagai gubenur Jakarta.
Terdapat
dua tataran strategis yang tengah dijalankan oleh kelompok militer politik:
Pertama,
tataran formal, yaitu usaha-usaha untuk memasukkan kepentingan politiknya
melalui Undang-undang atau peraturan formal. Misalnya, memasukkan hak memilih
dan dipilih bagi anggota TNI/ PolRi dalam RUU Pemilu. Proses pada tataran ini
memanfaatkan anggota militer yang berada dalam birokrasi dan parlemen, seperti
mempengaruhi anggota DPR untuk mengakomodasi kepentingan politik militer.
Adapun strategi yang dijalankan pada tataran ini adalah usaha-usaha untuk
mempengaruhi publik melalui media dan melakukan lobi-lobi dengan kekuatan
politik yang ada di DPR.
Kedua, tataran
non-formal adalah usaha-usaha untuk “mendekati” kelompok tertentu atau
figur-figur tertentu yang secara politik mempunyai kekuasaan besar. Disebut
non-formal karena pendekatan yang digunakan tidak melalui jalur politik yang
formal. Tetapi menggunakan jaringan-jaringan tertentu, seperti pertemanan,
jaringan bisnis, bahkan jaringan kriminal. Dalam strategi ini, seringkali
terjadi, “politik dagang sapi” dengan antara kelompok kepentingan. Sebagai
misal, pengangkatan beberapa perwira pada jabatan-jabatan penting, pencalonan
kembali gubenur Sutiyoso dan penghentian penyelidikan kasus korupsi di berbagai
yayasan Angkatan Darat. Jika dilihat dari sudut pandang strategi politik,
beberapa kebijakan yang diambil yang berkaitan dengan kepentingan militer
adalah serangkaian uji kasus untuk melihat sejauh mana resistensi masyarakat
terdapat peranan politik militer. Strategi ini adalah cara untuk mengetahui
peta politik nasional, terutama yang ada di DPR maupun masyarakat. Dengan
demikian,
kelompok militer akan lebih mudah untuk menjalankan
strategi di mana militer harus bermain politik.
Tujuan dari strategi-strategi yang dijalankan oleh
kelompok militer politik diatas, adalah untuk mendapat akses kekuasaan politik
yang lebih besar. Besarnya akses kekuasaan politik bagi kelompok militer ini
secara lebih jauh akan berpengaruh pada besarnya akses ekonomi. Alokasi dana
untuk militer yang dianggarkan oleh pemerintah hanya mencukupi sekitar 30 %
dari kebutuhan-kebutuhan militer secara keseluruhan. Selebihnya, 70 % lainnya
militer harus mencari sumber pendanaannya sendiri. Dengan demikian semakin
terbukannya akses informasi, maka militer tidak dapat lagi memakai cara-cara
lama seperti praktek korupsi, mark up, backing bagi sindikat kriminal dan
lain-lain, karena masyarakat akan mudah untuk mengetahui akan dipertanyakan.
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus