Minggu, 16 September 2012

Dampak Kegagalan Sistem Perekrutan Pejabat Publik oleh DPR terhadap Reformasi Birokrasi







Dampak Kegagalan Sistem Perekrutan Pejabat Publik oleh DPR terhadap Reformasi Birokrasi






BAB I
LATAR BELAKANG MASALAH

            Birokrasi memainkan peranan penting dalam realitas politik, baik secara langsung maupun tidak langsung. Sejak awal kemerdekaan hingga kini birokrasi telah banyak memainkan peranan dalam system politik Indonesia. Bahkan pada masa orde baru birokrasi menjelma menjadi salah satu kekuatan politik di masa itu.
            Bicara masalah birokrasi di Indonesia sekarang tidak bias dilepaskan dari pengaruh praktek birokrasi semasa orde baru. Birokrasi menjadi mesin politik alat untuk mempertahankan kekuasaan. Implikasinya, masyarakat harus membayar mahal untuk satu jenis layanan. Mulai dari ketidakpastian waktu, ketidakpastian biaya, dan ketidakpastian siapa yang bertanggung jawab. Hal tersebut merupakan fakta empiris rusaknya birokrasi.
            Birokrasi Indonesia memiliki sejarah patrimonial.[1] Yakni birokrasi yang mendasarkan pada hubungan bapak buah dengan anak buah (Patron Client). Sehingga segala yang dikerjakan bawahaannya hendaknya selalu tergantung pada atasan. Budaya patron client menimbulkan ewuh pekewuh yang berlebihan terhadap atasan.
            Pejabat politik yang mengisi birokrasi pemerintahan sangat dominan. Kewenangan yang terlalu besar, bahkan akhirnya menonjolkan peran birokrasi sebagai pembuat kebijakan, ketimbang pelaksana kebijakan, lebih bersifat menguasai dari pada melayani masyarakat. Akhirnya, birokrasi lebih dianggap sebagai sumber masalah atau beban ketimbang sumber solusi bagi masalah yang dihadapi masyarakat. Fenomena yang terjadi sebagai akibat dari tradisi birokrasi yang dibentuk lebih sebagai alat penguasa untuk menguasai masyarkat dan segala sumber dayanya. Dengan kata lain, birokrasi lebih bertindak sebagai “pangreh praja dari pada pamong praja”. Bahkan tidak jarang terjadi politisasi birokrasi.
            Budaya patron client didalam birokrasi yang terjadi sampai sekarang, seharusnya dapat memberikan pengaruh positif dan mampu memunculkan pejabat public yang kompeten sekaligus berkualitas. Namun pada kenyataannya, birokrasi menjadi minus kesadaran dan tanggung jawab. Pejabat publik, juga wakil rakyat, yang mestinya menjadi pengayom masyarakat dan penegak hokum itu telah menjelma menjadi pelanggar hukum nomor wahid dinegeri ini, sebagian sudah dijebloskan kepenjara, lainnya dalam proses hukum.



BAB II
PEMBAHASAN
            Wajah birokrasi dari suatu penyelenggaraan Negara Indonesia akan tercermin pada hasil produk yang berupa adanya standar pelayanan terhadap public atau masyarakat. Dalam rangka merasionalisasikan birokrasi akan dapat terwujudnya batasan dan hubungan yang jelas tentang hak, tanggung jawab, kewajiban, dan kewenangan seluruh pihak terkait dengan penyelenggaraan publik. Sistem penyelenggaraan pelayanan publik yang layak dan sesuai dengan azaz-azaz umum pemerintahan dan korporasi yang baik. Dimana pelayanan publik harus sesuai dengan pengaturan dan perlindungan serta kepastian hukum bagi masyarakat. Profesionalitas, partisipatif. Persamaan perlakuan/ tidak diskriminatif, keterbukaan, akuntabilitas, penyedia fasilitas, dan perlakuan khusus bagi kelompok rentan, ketepatan waktu, kecepatan, kemudahan sekaligus keterjangkauan, hanya bisa diwujudkan manakala kesadaran akan tanggung jawab pejabat publik sebagai pelayan publik telah tertanam dalam diri setiap pejabat.
II. A. Reformasi Birokrasi
            Reformasi tahun 1998 menjadi tonggak sejarah bagi Indonesia yang berhasil mendorong perubahan tata pemerintahan di negeri ini. Gerakan reformasi berhasil melakukan perubahan dengan jalan menumbangkan rezim Soeharto yang berkuasa selama 32 tahun lebih. Reformasi menuntut perubahan di berbagai lini kehidupan, baik social, ekonomi, politik, hukum, termasuk dalam konteks pemerintahan. Perubahan ini sebagai konsekuensi dari harapan akan cita-cita untuk membawa Indonesia keluar dari masalah.
            Reformasi 1998 juga membawa konsekuensi untuk melakukan reformasi pada birokrasi. Ini tidak bias dilepaskan dari kondisi birokrasi pemerintahan yang mengalami penyakit bureaumania,[2] yang ditandai dengan kecenderungan inefisiensi, penyalahgunaan wewenang, korupsi, kolusi, dan nepotisme serta dijadikan alat oleh pemerintahan untuk mempertahankan kekuasaan yang ada.
            Menurut pendapat Karl D Jackson, birokrasi Indonesia merupakan beuracratic polity. Yang merupakan model birokrasi dimana menjadi akumulasi dari kekuasaan dan menyingkirkan peran masyarakat dari politik dan pemerintah.[3]
            Birokrasi di Indonesia tidak saja mengalami penyakit bureaumania pada masa orde baru, tapi juga mengalami apa yang disebut sebagai parkinsonisasi dan orwelisasi, sebagaimana yang dikatakan Hans Dieter Evers. Birokrasi Parkinson merujuk pada pertumbuhan jumlah anggota serta pemekaran sturktural dalam birokrasi yang tidak terkendali. Sedangkan birokrasi Orwel merujuk pada pola birokratisasi yang merupakan proses perluasan kekuasaan pemerintah yang dimaksudkan sebagai pengontrol kegiatan ekonomi, politik, dan sosial dengan menggunakan regulasi yang bila perlu ada suatu pemaksaan.[4]
            Reformasi berasal dari kata Inggris, reform yang artinya perbaikan atau pembaharuan. Hakikatnya, reformasi merupakan bagian dari dinamika masyarakat, dalam arti bahwa perkembangan akan menyebabkan tuntutan perkembangan zaman. Reformasi juga bermakna sebagai suatu perubahan tanpa merusak (to change without destroying) atau perubahan dengan memelihara (to change while preserving). Dalam hal ini, proses reformasi bukanlah perubahan yang radikal dan berlangsung dalam jangka waktu singkat, tetapi merupakan proses perubahan yang terencana dan bertahap.[5]
            Reformasi birokrasi berdasarkan teori Max Weber adalah upaya-upaya strategis dalam menata kembali birokrasi yang sedang berjalan sesuai prinsip-prinsip span of control division of labor, line and staff, rule and regulation, and professional staff.[6]
B. Tujuan Reformasi Birokrasi
            Reformasi birokrasi bertujuan untuk menyelesaikan berbagai permasalah yang muncul dalam penyelenggaraan pemerintahan khususnya sektor publik. Langkah-langkah pembaharuan di sektor publik (public sector reform) dalam upaya mewujudkan tata pemerintahan yang baik (good governance) dan pemerintahan yang bersih (clean government) sebagai wahan untuk untuk mewujudkan masyarakat madani
            Selain itu juga dimaksudkan agar birokrasi pemerintahan selalu bias menjalankan kerjanya dengan baik untuk melayani masyarakat sesuai dengan prinsip-prinsip manajemen modern. Ini mengandung maksud adanya proses atau rangkaian kegiatan yang sungguh-sungguh dan nasional. Sehingga ada konsep dan system yang jelas berlingsung terus menerus secara berkelanjutan dalam enam pekerjaan meliputi evaluasi, penataan, penertiban, penyempurnaan, pembaharuan, objeknya adalah pada semua sector penyelenggaraan Negara bidang pemerintahan (kelembagaan, SDM, aparatur, ketatalaksanaan, akuntabilitas, pelayanan publik).
C. Pejabat Publik
            Masih hangat di ingatan masyarakat ketika sejumlah petinggi KPU, termasuk ketuannya, ditangkap karena kasus korupsi dan penyuapan. Lembaga membidani Pemilu 2004 itu pun tercoreng.
            Kasus itu mencuatkan institusi KPK, sebagai lembaga baru yang membawa harapan di tengah mandulnya penegak hukum konvensional-kepolisian dan kejaksaan dalam mengusut tuntas kasus-kasus korupsi.
            Sejak itu KPK makin bersinar. Sejumlah kasus korupsi dibongkar, walaupun belum tuntas benar. Indeks prestasi pemberantasan korupsi Indonesia di tingkat dunia mulai membaik. Namun, saat berjuang memberangus korupsi, Ketua KPK Antasari Azhar terjerembab ke lubang lain. Mantan jaksa ini menjadi tersangka pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen, direktur PT Rajawali Putra Banjaran.
            Masalah yang kini membelit Antasari memang di luar koridor tugas KPK dan proses hukumnya masih berjalan. Tetapi, masalah ini, mencuatkan pertanyaan: apa yang terjadi dengan para penyelenggara Negara ini sehingga seolah tak ada lagi yang bebas dari tindakan tercela dan layak mendapat rasa hormat dari rakyat?[7]
            Sejumlah kasus korupsi yang mencuat belakangan ini menguakan adannya kemelut hukum yang parah. Masihkah reformasi birokrasi menarik untuk di dengungkan? Nama baik kalangan professional di bidang hukum sedang di uji. Terkuaknya sejumlah skandal yang melibatkan professional hukum pada pemberitaan media, terlepas apakah terbukti bersalah atau tidak, mengindikasikan ketidakberesan dalam sistem organisasi kelembagaan hukum.
            Perekrutan dan seleksi pejabat Negara yang kerap melalui prosedur yang demikian panjang dan ketat, serta memakan biaya yang tidak sedikit, terbukti tidak selalu berhasil menghasilkan figur terbaik. Perekrutan pejabat publik, terutama komisi negara, dikhawatirkan lebih banyak dimanfaatkan oleh kekuatan politik tertentu untuk melanggengkan kekuasaannya. Salah satu indikasi kegagalan sistem perekrutan pejabat publik oleh DPR adalah banyaknya pejabat negara terpilih yang terbelit skandal hukum. Tidak hanya itu, sejumlah pejabat komisi hasil seleksi ketat itu dianggap tidak mampu menunjukkan kapabilitasnya mengelola dengan baik lembaga yang dipimpinnya. Padahal perekrutan yang panjang itu tujuannya tidak hanya memindai secara ketat, sisi kecakapan calon pemimpin lembaga negara, melainkan integritas moral mereka. Hal ini mengakibatkan publik meragukan kapasitas dan kapabilitas pejabat publik yang dipilih lewat prosedur lembaga perwakilan rakyat. Bahkan jajak pendapat kompas menunjukkan mayoritas 58,6 persen responden tidak yakin dengan kualitas dan kemampuan pejabat publik yang dipilih lewat pintu DPR.[8]
            Pemilihan kandidat yang alot itu tidak meniscayakan hasil yang terbaik. Sorotan miring terhadap perekrutan pejabat publik makin meluas ketika anggota KPU periode 2007-2012 dianggap tidak mampu menyelenggarakan pemilu legislatif dengan baik. Dimana KPU dianggap kedodoran di hampir setiap tahapan penyelenggaraan pemilu lalu. Berbagai persoalan yang menghadang penyelenggaraan pemilu legislatif berujung pada keraguan, apakah memang terjadi kecurangan yang dilakukan secara sistematis ataukah karena ketidaksempurnaan para anggota KPU menyelenggarakan pemilu. Prosedur ketat selama ini dilakukan untuk menjaring pejabat publik menghabiskan uang negara yang tidak sedikti. Mencari sosok pejabat publik yang ideal tidaklah mudah. Figur yang memiliki kemampuan intelektual dan keahlian dibidang lembaga yang akan dipimpinnya belum cukup untuk memenuhi syarat ideal menduduki posisi strategis. Tuntutannya lebih dari itu, sosok yang memiliki integritas, kejujuran dan bebas dari kepentingan politiklah yang dicari. Sayangnya lembaga-lembaga yang menjadi ujung tombak dalam perekrutan pejabat publik ini jarang yang bebas dari kepentingan politik.
D. Seleksi lewat pintu DPR
            Pembenahan sistem perekrutan pejabat publik dituangkan lewat mekanisme yang makin panjang. Bandingkan saja proses seleksi anggota KPU dua periode terakhir. Proses pemilihan anggota KPU periode 2001-2006 lebih sederhana dibandingkan perekrutan anggota KPU periode sekarang. Pemerintah mengusulkan 22 nama kepada DPR. Selanjutnya DPR melakukan uji kelayakan dan kepatutan melalui Komisi II selama tiga hari. Akhirnya Komisi II DPR memilih 11 anggota KPU.
            Sebaliknya, perekrutan KPU periode 2007-2012 lebih panjang. Presiden menuntut lima anggota tim seleksi KPU bergelar doktor. Tim seleksi ini berhasil menjaring 45 calon setelah melalui tes tertulis yang meliputi tes intelegensia (IQ), kepribadian, kesetiaan kepada Pancasila dan UUD 1945, serta tes kesehatan mental dan rekam jejak. Selanjutnya dilakukan tes individual, kelompok, dan diskusi. Hasil tes ini menjaring 21 calon anggota KPU. Uji kelayakan dan kepatutan oleh Komisi II DPR untuk memilih 7 anggota KPU.
            Tarikan kepentingan yang terjadi pada perekrutan yang dilakukan melalui uji kelayakan dan kepatutan oleh DPR diyakini sejumlah kalangan kian memperkeruh perekrutan. Model pengambilan keputusan yang diartikulasikan lewat banyaknya jumlah dukungan terhadap calon-calon tertentu lebih mendominasi perekrutan ini. Model seperti ini jelas lebih kuat dilatarbelakangi pertimbangan-pertimbangan politis ketimbang pertimbangan atas aspek kualitas dan kapabilitas.
           







BAB III
KESIMPULAN
            Pergantian pemerintaha dari orde baru ke era reformasi memang telah mambawa perubahan pada sejumlah hal. Selain rakyat kembali berdaulat dalam memilih pemimpinnya, sistem perekrutan pejabat publik pun memberikan peran serta lebih kepada masyarakat. Sistem perekrutan yang pada era orde baru dilakukan tersentral, pada era reformasi mulai menyebar.
            Di era reformasi seleksi anggota-anggota komisi negara dilakukan oleh panitia seleksi yang dibentuk berdasarkan keputusan presiden. Masyarakat sipil bersama dengan pejabat pemerintah dilibatkan untuk menyeleksi calon-calon komisioner. Hasil seleksi diserahkan kepada presiden yang membentuknya.
            Tertangkapnya komisioner Komisi Yudisial, Irawady Joenoes, oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), anggota KPPU, Mohammad Iqbal, serta Ketua KPK Antasari Azhar yang berstatus tersangka menjadi bukti yang valid untuk kembali mempersoalkan kualitas pola perekrutan.
            Kegagalan sistem perkrutan pejabat publik sebenarnya bukan hal aneh bagi birokrasi Indonesia. Budaya birokrasi paternalistik yang telah lama tertanam di kalangan pejabat publik cepat atau lambat pasti akan terjadi.
a.       Kekuasaan cenderung memperbesar diri dan tidak pernah membatasi diri
b.      Kekuasaan cenderung selalu membenarkan diri dan tidak mau disalahkan.
Dari dua hal tersebut diatas, menunjukkan betapa kekuasaan yang lama akan menciptakan sebuah kesewenang-wenangan, baik terhadap jabatannya terlebih lagi terhadap yang menjadi tanggungjawabnya.
DPR sudah selayaknya bermain transparan, bertanggungjawab, dan harus mulai belajar melibatkan masyarakat secara utuh. Dimana masyarakat diberikan hak dan kewenangan untuk ikut menentukan pilihan, jika memang harus memilih dan menghukum jika memang harus menghukum. Kendati memang ini bukan persoalan yang dapat dengan mudah untuk dilakukan, karena masih rendahnya tingkat kesadaran masyarakat akan betapa pentingnya kontrol mereka terhadap jalannya pemerintahan. Dan lagi-lagi proses panjang untuk kesadaran ini, akan menjadi peluang bagi makin sewenang-wenangnya pejabat publik.
Identifikasi masalah perekrutan pejabat publik, sejumlah kegagalan perekrutan pejabat publik, diantaranya karena DPR cenderung mengabaikan informasi yang disampaikan masyarakat melalui berbagai saluran LSM tentang figur calon pejabat publik. Persoalan lain adalah tidak ada mekanisme yang jelas dalam proses verifikasi informasi dan data yang diterima terkait calon pejabat publik yang telah diusulkan. Selain itu relevansi DPR sebagai lembaga politik yang diberi kewenangan menjadi “pintu terakhir” dalam perekrutan pejabat publik. Hal ini didasarkan pada problematika DPR sebagai lembaga politik, yang nyaris mustahil melakukan perekrutan di DPR tanpa melibatkan kepentingan politik mereka.




















DAFTAR PUSTAKA

Catatan perkuliahan “Lembaga Eksekutif dan Birokrasi di Indonesia”, Selasa, 2 November 2010 FISIP UBK, Bpk Christofel Nalenan

Kompas “FOKUS”, Apatisme terhadap Perekrutan Sang Pejabat, Jum’at, 8 Mei 2009
Kompas “FOKUS”, SELEKSI PEJABAT-perekrutan buruk, pejabat memble, Jum’at, 8 Mei 2009

http://www.ilhamariyudanto.co.cc/2010/02/birokrasi indonesia, diakses 10 November 2010. 21.00 WIB
http://ahmadfathulbari.multiply.com/journal/item/40, diakses 10 November 2010, 21.00 WIB
http://herisusanto@vivanews.com, diakses 10 November 2010
http://herisusanto@vivanews.com, diakses 10 november 2010


[1] Catatan perkuliahan “Lembaga Eksekutif dan Birokrasi di Indonesia”, Selasa, 2 November 2010 FISIP UBK, Bpk Christofel Nalenan
[2] Kurang produktif, tidak proaktif
[3] http://www.ilhamariyudanto.co.cc/2010/02/birokrasi indonesia, diakses 10 November 2010. 21.00 WIB
[4] http://ahmadfathulbari.multiply.com/journal/item/40, diakses 10 November 2010, 21.00 WIB
[5] http://herisusanto@vivanews.com, diakses 10 November 2010
[6] http://herisusanto@vivanews.com, diakses 10 november 2010
[7] Kompas “FOKUS”, SELEKSI PEJABAT-perekrutan buruk, pejabat memble, Jum’at, 8 Mei 2009
[8] Kompas “FOKUS”, Apatisme terhadap Perekrutan Sang Pejabat, Jum’at, 8 Mei 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar