Jumat, 17 Februari 2012

Sajak Ala Roa, Aku Tak Ingin Mengucapkan Selamat Tinggal-2008

Tak ada tangisan dalam kepergianmu
Tak ada tangisan dalam kepergianku
Kehadiran air mata yang silih berganti
Adalah takdirnya yang abadi
Ucapanku dan kepergianmu
Bukan kesedihan
Ucapanmu dan kepergianku
Bukan ketakutan
Kita sama-sama tak memiliknya
Selain cinta
Ini bukan kepergianmu
Ini bukan kehadiranku
Ini bukan kepergianku
Ini bukan kehadiranmu
Aku tak ingin mengucapkan
Selamat tinggal

Sajak A. Yusrianto Elga lukisan tentang Cinta

Bukan karena kata-kata itu telah musnah
Dan aku tak mampu lagi merangkainya
Sungguh aku sadar
Getaran perasaan yang kian runcing ini
Tak sepenuhnya dapat kuterjemahkan
Puisi hanyalah setitik tafsir
Dari gemuruh rindu yang tak bertepi
Maka jangan palingkan wajahmu
Karena diamku

Sajak Soni Farid Maulan, Lagu Musim Semi-2000

Kini cahaya lembut matamu
Menjengkal setiap relung kalbuku yang kelam
Berpendara seperti cahaya bulan
Berpantulan di atas lambak dan ombak
Mendesir dan berdebur ke pantai dan pesisir

Resep cantik Kompas, 07 Mei 2000

“Untuk mendapatkan bibir yang menawan, ucapkanlah kata-kata kebaikan,
Untuk mendapatkan mata yang indah, carilah kebaikan pada diri setiap orang,
Untuk mendapatkan bentuk badan yang langsing, berbagilah makanan dengan
Mereka yang kelaparan
“Untuk mendapatkan tubuh yang indah, berjalanlah dengan ilmu pengetahuan,
Kecantikan perempuan tidak terletak pada pakaian yang dikenakan,
Bukan pada kehalusan wajah dan bentuk tubuhnya, tetapi pada matanya,
Cara ia memandang dunia, karena di matanyalah terletak gerbang menuju ke
Setiap hati manusia, di mana cinta dapat berkembang,”

Cinta menurut Erich Fromm,

Cinta harus mengandung unsur pembebasan dan pemerdekaan,
Bukan penguasaan apalagi penindasan. Erich Fromm menyebutnya sebagai cinta yang
Produktif-seseorang harus memiliki elemen-elemen dasar yaitu: perlindungan, tanggung jawab, penghormatan, dan pengetahuan (Erich Fromm-1947)
Perlindungan dan tanggung jawab menunjukkan bahwa cinta adalah sebuah aktivitas dan bukan sebuah nafsu yang olehnya orang terkuasai, dan bukan sebuah pengaruh (effect) yang mana orang terpengaruh olehnya. Dalam perlindungan dan tanggung jawab, yang ada hanya kerelaan untuk berbuat dan berkorban, tanpa diwarnai tuntutan untuk diakui, diikuti, ditaati, apalagi ditakuti.
Perlindungan & tanggung jawab adalah dua unsur pokok dari cinta. Dari situlah cinta dapat dinilai, apakah yang ada memang cinta atau hanya keinginan untuk memiliki dan menguasai. Namun, cinta akan memebusuk jika hanya didasari pada semangat perlindungan dan tanggung jawab saja, tanpa dibarengi dengan dua unsur lainnya, yaitu penghormatan dan pengetahuan.

MEMAKSIMALKAN KETERLIBATAN PERAN PEREMPUAN DALAM HAL PELAYANAN PUBLIK

Tetapi pikiran saya melayang, melayang memikirkan satu soal-soal wanita. Kemerdekaan! Bilakah sarinah-sarinah mendapatkan Kemerdekaan! Tetapi, Ya, Kemerdekaan yang     bagaimana? Kemerdekaan yang dikehendaki oleh pergerakan feminismekah, yang hendak menyamaratakan perempuan dalam segala hal dengan laki-laki? Kemerdekaan ala Kartini? Kemerdekaan ala Chalidah Hanum? Kemerdekaan ala Kollontay?
(SARINAH, Hal. 8)

            Enam puluh enam tahun sudah Indonesia merdeka. Tetapi diantara deretan permasalahan bangsa yang masih dan sepertinya tidak akan juga menemukan titik temu penyelesaian adalah menentukan secara tegas dan jelas Peran, Porsi, dan Posisi perempuan dalam kehidupan berbangsa, khususnya ditengah masyarakat. Melalui sejarah, dapat dengan jelas ditelusuri, betapa pentingnya peranan perempuan diberikan ruang dan ketegasan didalam implementasinya. Masih akan selalu segar dalam ingatan, bagaimana Kartini menggagas tentang peningkatan pendidikan bagi kaum perempuan, baik dikalangan miskin maupun atas, tidak hanya itu saja, Kartini juga menggagas perlu diadakannya reformasi sistem perkawinan, sebuah gagasan yang menunjukkan penolakan seorang Kartini terhadap poligami yang dianggap merendahkan kaum perempuan. Semasa hidupnya (th 1879-1904) Kartini menggugat nasib perempuan Jawa: penderitaan perempuan Jawa akibat kungkungan adat, yaitu tidak bisa bebas duduk di bangku sekolah, harus dipingit, dinikahkan dengan laki-laki yang tak dikenal, dan harus bersedia dimadu.
            Kesempatan memperoleh pendidikan bagi anak-anak, laki-laki maupun anak perempuan masih sangat rendah. Jika di jaman Kartini, sebagai keluarga ningrat ia hanya berkesempatan bersekolah selama enam (6) tahun, hingga usia 12 tahun, kini rata-rata lama sekolah anak Indonesia adalah : 7,7 tahun (angka rata-rata nasional ). Rata-rata lama sekolah anak perempuan lebih pendek (7,3 tahun) dibandingkan rata-rata lama sekolah anak laki-laki (8,2 tahun) Di beberapa propinsi, lama anak sekolah jauh lebih rendah dari angka rata-rata nasional, seperti: Nusa Tenggara Timur (6,6 th), Kalimantan Barat (6,6 th), Sulawesi selatan (7,4 th), Gorontalo (7,2 th) dan Papua (6,4 th). Data ini menunjukkan bahwa kualitas sumber daya manusia di Indonesia umumnya hanya berkesempatan mengenyam pendidikan tingkat SLTP (sekolah Lanjutan Pertama) untuk laki-laki dan perempuan hanya tamat Sekolah Dasar (SD).
            Perkawinan anak-nak dari usia 10-15 tahun mencapai 13,40% , sedangkan perkawinan anak usian 16-18 tahun mencapai 33,41% dan perkawinan di usla 19-24 tahun mencapai 41,33%. Persoalan Perkawinan anak ini tidak hanya terjadi di Jawa. Hampir semua propinsi di Indonesia memiliki kasus Perkawinan usia anak. Perkawinan anak usia 10-15 tahun terbanyak terjadi di Jawa Barat (19,65%), Kalimantan Selatan (18,89%), DIY ( 18,78%), jawa Timur (17,43%) kepulauan Riau (14,36%) dan Banten (13,03%).
Sedangkan Perkawinan anak usia 16-18 tahun, daerah yang memiliki kasus perkawinan anak di usia tersebut adalah : Kepluauan Riau (38,02 %), Jawa barat dan NTB masing-masing (37,02) dam (37, 53) , Jawa Barat (36,50 th), DIY (36,54%), Jawa Timur (36, 76 ), Banten (36, 96 ), Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan masing-masing (36,20 ) dan (36,31).
Berdasarkan data dari Koalisi Perempuan Indonesia tersebut, jelas menunjukkan betapa masih sangat rendahnya tingkat pendidikan perempuan di usia kemerdekaan yang sudah setengah abad lebih. Tidak hanya itu saja, angka perkawinan usia dini juga masih sangat tinggi persentasenya. Sungguh sesuatu yang sangat ironi, bangsa ini seperti tidak membaca dan belajar sejarah. Seratus tiga tahun sudah gagasan tentang pentingnya peningkatan pendidikan kaum perempuan dicetuskan Kartini, jauh sebelum bangsa ini merdeka. Kenyataannya, setelah merdeka persoalan serupa masih jadi kendala.
Pendidikan dan Perempuan
            Charles Fourier mengatakan, bahwa tinggi rendahnya tingkat kemajuan suatu masyarakat, adalah ditetapkan oleh tinggi rendahnya tingkat kedudukan perempuan didalam masyarakat itu sendiri. Jelas sekali apa yang dikatakan oleh Charles Fourier, tetapi, bagaimana perempuan mempunyai kedudukan tinggi didalam masyarakat? Bagaimana perempuan mampu menjalankan perannya dalam hal pelayanan publik tanpa ia pernah mendapatkan pendidikan sebelumnya, minimal pemahaman tentang arti pentingya peranan perempuan ditengah-tengah masyarakat.
            Tidak satu hal pun di dunia ini yang bisa didapat atau dilakukan tanpa adanya ilmu. Pendidikan adalah ilmu yang merupakan gerbang bagi perempuan untuk mampu melaksanakan perannya secara maksimal didalam masyarakat (pelayanan publik). Melalui pendidikan perempuan akan mendapatkan banyak pemahaman dan pengetahuan, pendidikan juga yang akan mampu menyadarkan perempuan betapa pentingnya ia didalam masyarakat. Dengan pendidikan bahkan seorang perempuan mampu menentukkan porsi dan posisinya secara tegas dan jelas terhadap peran yang harus dijalankannya. Meski tanpa undang-undang yang mengaturnya sekalipun. Yang menjadi pertanyaan, dengan sistem pendidikan seperti sekarang ini, mungkinkah perempuan-perempuan Indonesia mendapatkan pendidikan sebagaimana yang dibutuhkan, jika kita berharap kepada pemerintah melalui kebijakan yang dibuat, tentu tidak mungkin. Lalu bagaimana caranya?
            Sekarang ini, banyak organisasi, komunitas, dan LSM yang memiliki divisi tersendiri mengenai pemberdayaan perempuan (kader) bahkan ada yang memang secara khusus bergerak dalam bidang pemberdayaan perempuan. Persoalannya, berani tidak organisasi atau komunitas dan LSM tersebut mengambil alih peran penting ini, menjadi garda terdepan untuk melakukan perubahan juga perbaikan? Asal jangan mengarah pada komersialisasi, tidak perlu sampai lima tahun, perempuan-perempuan Indonesia sudah memiliki bekal keilmuan untuk menjalankan perannya.
            Cepat atau lambat, ketiga elemen tersebut harus berani mengambil peran ini, berani menentukan sendiri sebuah sistem pendidikan yang siap mereka terapkan. Untuk kemudian, membuat standardisasi terendah dari keberhasilan sistem yang dibuat. Tidak mungkin jika tidak menghasilkan keberhasilan yang benar-benar diharapkan. Asalkan konsisten pada teori, praktek, dan evaluasi, perbaikan-perbaikan itu pasti ada. Tiga hal penting yang harus diperhatikan sebagai elemen diluar pemerintah ketika menentukan sebuah konsepsi pendidikan, pertama, perlunya pendidikan ketrampilan dan ilmu pengetahuan termasuk didalamnya bahasa, kedua, pendidikan bergaul atau berorganisasi guna membangun semangat demokrasi. Hal ini penting untuk mengembangkan kepribadian yang tangguh, kepercayaan pada diri sendiri, harga diri, dan ketiga, pendidikan untuk selalu berorientasi kepada pelayanan itu sendiri.
            Pendidikan adalah jalan keluar untuk mampu memaksimalkan peran perempuan didalam menjalankan perannya di ranah publik. Karena pendidikan akan mampu menumbuhkan kesadaran terhadap pribadi perempuan, kesadaran yang nantinya melahirkan pola pikir baru dan pemahaman-pemahaman mendasar dirinya sebagai bagian dari kehidupan berbangsa. Perempuan adalah tiangnya Negeri. Manakala baik perempuan, baiklah negeri. Manakala rusak perempuan, rusaklah negeri. Jangan pernah berharap perempuan akan mampu menjalankan perannya didalam masyarakat, tanpa kita membekali mereka dengan pendidikan sebagaimana ia harus dapatkan. Jangan pernah menuntut perempuan ikut terlibat secara aktif dan produktif dalam pelayanan publik, jika modal dasarnya saja tidak mampu kita penuhi.
Perempuan dan Kesempatan
            Jika pendidikan tak ubahnya pondasi bagi perempuan, maka kesempatan ibarat kendaraan yang harus dikendarai oleh perempuan untuk bias menjalankan perannya. Tidak ada hal lain yang lebih penting bagi perempuan yang ingin berperan lebih didalam masyarakat, selain kesempatan. Hanya saja, sampai saat ini tidak bagi mereka, kaum perempuan yang menjadikan politik sebagai jalan untuk dapat berpartisipasi dalam perbaikan bangsa. Kebijakan mau tidak mau menjadi penghalang utama, perempuan duduk menjadi anggota dewan. Kuota 30% bukanlah jaminan bahwa dipastikan jumlah tersebut akan terpenuhi. Kalaupun terpenuhi apa benar mampu memaksimalkan peran yang dicita-citakan? Faktanya, menteri pemberdayaan perempuan saja tidak jelas indikator keberhasilannya, padahal jelas-jelas pemberdayaan perempuan  tetapi pada kenyataannya tidak mampu menyentuh akar persoalan. Apalagi yang hanya menjadi bagian kecil dari sekian ratus jumlah yang ada dikursi dewan, ditambah lagi mereka terpecah oleh sekat perbedaan latar belakang (parpol), mungkinkah masih akan maksimal pelayanan yang diberikan? Dipastikan tidak.
            Namun bukan berarti kebijakan pemerintah merupakan satu-satunya penghalang bagi perempuan untuk mendapatkan kesempatan yang lebih luas dalam perannya. Didalam masyarakat sendiri, masih sering terjadi perlakuan yang berlebih terhadap perempuan.
            Lalu bagaimana caranya, agar kesempatan tersebut bisa didapatkan kaum perempuan? Kembali saya tekankan, peranan elemen diluar pemerintahlah yang mampu melakukan peran ini. Organisasi, komunitas dan LSM, adalah wadah yang mampu memberikan kesempatan tanpa harus berbenturan dengan kebijakan. Setelah memberikan pendidikan yang dibutuhkan, tugas dari elemen tersebut adalah memaksimalkan potensi yang ada pada diri setiap individu. Dengan kata lain menciptakan sebuah kesempatan sebagai uji standardisasi sistem pendidikan yang sudah dibuat.
            Pendidikan dan kesempatan adalah hal yang sangat dibutuhkan oleh kaum perempuan didalam menjalankan perannya diranah publik secara maksimal. Tanpa keduanya jangan pernah berharap perempuan akan mampu mengambil bagian baik ditengah masyarakat, apalagi didalam kehidupan berbangsa. Dengan pendidikan dan kesempatan yang diberikan kepada kaum perempuan, sesungguhnya kaum perempuan sudah dapat dipastikan mampu mengurusi dirinya sendiri. Tahu apa yang menjadi kebutuhanya dan tahu apa yang bisa dilakukannya. Sampai pada saat keduannya tidak dapat diberikan persoalan perempuan tidak akan pernah terselesaikan. Karena hanya perempuan itu sendiri yang tahu, apa yang menjadi kebutuhanya dan bagaimana memenuhi kebutuhan itu.