Kewajiban Wanita
dalam Perjuangan Republik Indonesia
“Soal
perempuan bukanlah soal buat perempuan saja, tetapi soal masyarakat, soal
perempuan dan laki-laki. Dan sungguh soal masyarakat dan Negara yang amat
penting.”
Membicarakan
buku Sarinah, secara garis besarnya ada tiga hal penting yang disampaikan oleh
Bung Karno, yaitu Sejarah kehidupan
perempuan, Kodrat alamiah perempuan, dan yang ketiga adalah pergerakan kaum
perempuan.
Sejarah
kehidupan perempuan, disini dijelaskan bahwa pada zaman dimana manusia belum
mengenal rumah, dan hidup dalam fase berburu juga meramu, perempuan hidup tak
ubahnya seperti kaum tertindas, ia hanya diposisikan sebagai penunggu suami
pulang dari berburu dan dihidupi sepenuhnya oleh sang suami. Tetapi keadaan
mulai berubah ketika, fase meningkat ke pertanian, alih-alih sebagai sebuah
pekerjaan sambil menunggu suami pulang dari berburu, perempuan mulai memikirkan
bagaimana caranya membuat sebuah aktifitas kehidupan yang mampu menghasilkan. Bercocok
tanam adalah hal pertama yang dilakukan oleh perempuan. Sejak saat itu lah,
perempuan mampu menjadi produsen makanan. Bahkan seiring dengan meningkatnya
kegiatan pertanian ini, mulailah dengan kehidupan menetap dan mengenal rumah. Kembali
perempuanlah yang menjadi ujung tombak perubahan dua fase kehidupan manusia,
fase berburu dan meramu meningkat ke fase pertanian, dan fase nomaden
(berpindah-pindah) menjadi menetap dengan mendirikan rumah tinggal.
Di
zaman sejarah ini merupakan era kejayaan perempuan, dengan hukum matriachartnya
yang berlaku. Kaum laki-laki hidup dengan kendali kaum perempuan.
Hal
ke-dua adalah tentang Kodrat alamiah perempuan, disini Bung Karno secara gamblang
menyampaikan bahwa masyarakat adalah
terdiri dari kaum laki-laki dan kaum perempuan, dari kaum perempuan dan kaum
laki-laki. Tak sehatlah masyarakat itu, manakala salah satu pihak menindas
kepada yang lain, tak perduli pihak yang mana yang menindas dan tak perduli
pihak yang mana yang tertindas. Kodrat alamiah perempuan yang hanya
menempatkan perempuan kesisih periuk nasi dan hanya sebagai menerima zat anak,
mengandung anak, melahirkan anak, memelihara anak, adalah hal yang tidak dapat
dijadikan alasan untuk memisahkan kaum perempuan dari kehidupan masyarakat. Karena
sejarahnya perempuan adalah tidak terpisah dari masyarakat. Sejarah perempuan
adalah bergandengan dengan sejarah laki-laki, dua hal yang tidak bisa
dipisahkan, satu untuk dua dua untuk satu.
Di
zaman sejarah, perempuan mengalami kejayaan dengan hukum peribuannya, dan
laki-laki menjadi tertindas. Tetapi disaat sekarang hukum perbapaan yang
berlaku keadaan pun tidak jauh berbeda, dimana perempuan juga merasa tertindas
dan merasa menjadi mahluk yang no-dua. Sejatinya tidaklah seorang laki-laki
dapat menunjukkan kesejatiannya sebagai seorang laki-laki tanpa hadirnya
seorang perempuan, demikian pula sebaliknya dengan perempuan. Apalah arti dari
keperempuannya jika tidak ada laki-laki. Tetapi manakala kesadaran tidak ada
diantara kedua kaum, maka yang akan tertaji tetaplah yang satu merasa berkuasa
terhadap yang lain, dan yang lain akan tetap merasa ditindas dan diabaikan. Pada
hal masing-masing kaum memiliki peran, porsi, dan posisi yang tidak bisa
diambil alih oleh kaum yang lain. Selama kesadaran akan peran, porsi, dan
posisi masing-masing belum ada maka ketimpangan dan jalannya masyarakat belum
akan mencapai susunan masyarakat yang seharusnya.
Ke-tiga
adalah perihal pergerakan kaum perempuan, untuk hal ini Bung Karno menjelasakan
tentang tiga tingkatan pergerakan perempuan yang dapat dijadikan kiblat. Pergerakan
tingkat pertama adalah apa yang disebut Bung Karno dengan “tingkat
keperempuanan” yakni satu tingkatan yang pergerakan yang berfikiran tentang
bagaimana caranya kaum perempuan mampu menyempurnakan pengabdiannya kepada
suami. Disini perempuan dituntut untuk mampu menghadirkan dirinya sebagai satu
sosok yang memiliki kesempurnaan baik didalam penampilan (mempercantik diri)
sampai pada tataran bagaimana menjadi pelayan yang baik buat suami mereka. Asumsi
seperti ini terjadi karena mereka mengira bahwa ketertindasan yang menimpa
sebagai akibat dari tidak cakapnya mereka-perempuan didalam merawat dan
memberikan serta melakukan perannya sebagai seorang perempuan.
Tingkatan
kedua, merupakan tingkatan yang banyak dikenal orang dengan “gerakan feminisme”,
yakni satu gerakan perempuan yang lahir dari satu kesadaran menuntut persamaan
hak, persamaan derajat, dengan kaum laki-laki. Terjadinya industrialisasi
mengakibatkan kalangan perempuan menengah keatas merasa bosan dikarenakan
kebiasaan mereka terhadap barang-barang produksi rumah tangga, diambil alih
produksi oleh industri, dimana tenaga-tenaga yang terserap adalah kaum
laki-laki. Karenanya gerakan pada tingkatan ini menuntut supaya mereka juga
ikut dilibatkan didalamnya. Sayangnya gerakan feminisme hanya mencakup pada
kalangan menengah keatas saja, akibatnya perempuan dikalangan rakyat jelata
tidak ikut merasakan efek dari pergerakan ini.
Tingkatan
ke-tiga dari pergerakan kaum perempuan yang ditulis Bung Karno adalah pergerakan
sosialisme, kenapa disebut dengan sosialisme, hal ini dikarenakan diranah
pergerakan perempuan ini didalam aksinya hendak mendatangkan satu dunia baru
sama sekali, yang didalamnya perempuan dan laki-laki sama-sama mendapat
bahagia, dengan tiada pemerasan satu kelas oleh kelas yang lain, tiada
penindasan satu sekse oleh sekse yang lain. Sehingga tidak boleh dikatakan
sebagai satu gerakan perempuan tingkat ketiga. Sebab disini perempuan tidak
beraksi sendiri, dan laki-laki pun tidak beraksi sendiri, tetapi kedua-duannya
bersama-sama berjuang, bersama-sama bergerak, bahu-membahu, di dalam satu
gelombang perjuangan kelas, yang tidak kenal perbedaan antara manusia dengan
manusia, satu gelombang menuju kepada kemerdekaan-kemerdekaan laki-laki dan
kemerdekaan perempuan untuk mendatangkan masyarakat sosialistis, dalam mana
wanita dan laki-laki sama-sama sejahtera sama-sama merdeka.
***********************